Vrydag 22 Maart 2013

“Kesultanan Malaka dalam Penyebaran Islam di Nusantara”.


BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kesultanan Malaka merupakan kerajaan islam kedua di Asia Tenggara. Kesultanan ini berdiri pada awal abad ke- 15 M. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Sejauh menyangkut penyebaran Islam di Tanah Melayu, peranan Kesultanan Malaka sama sekali tidak dapat dikesampingkan dalam proses islamisasi, karena konversi Melayu terjadi terutama selama periode Kesultanan Malaka pada abad ke- 15 M.
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera yang runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal berdirinya Kesultanan Malaka pada tahun 1402 ?
2.      Bagaimana politik dan kepemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka?
3.      Bagaimana eksisitensi Kesultanan Malaka dalam menyebarkan Islam ke Nusantara?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui awal berdirinya Kesultanan Malaka.
2.      Untuk mengetahui politik pemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka dalam menjalankan roda kepemerintahannya.
3.      Untuk mengetahui eksistensi Kesultanan Malaka dalam menyebarkan islam ke Nusantara.

1.4   Manfaat
1.         Sebagai sumber informasi dan pengetahuan atas berdirinya Kesultanan Malaka di Nusantara dan dampak terhadap proses islamisasi yang dilakukan.
2.         Sebagai motivasi untuk melanjutkan perjuangan bangsa di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk yang berbeda.
3.         Sebagai suatu pengalaman bangsa atas kejayaan di masa lampau.
1.5   Metode
    Adapun metode yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan “Kesultanan Malaka” , kemudian mencari informasi dari media cetak maupun media elektronik, semisal koran, televisi, internet dll.


BAB II PEMBAHASAN
2.1. Awal Pendirian Kesultanan Malaka
Pembentukan negara Malaka disinyalir ada kaitannya dengan perang saudara di Majapahit setelah Hayam Wuruk (1360-89 M) meninggal dunia. Sewaktu perang saudara tersebut, Parameswara, Putra raja Sriwijaya – Palembang turut terlibat karena ia menikah dengan salah seorang putri Majapahit. Parameswara kalah dalam perang tersebut dan melarikan diri ke Tumasik (sekarang Singapura) yang berada di bawah pemerintahan Siam saat itu. Beliau membunuh penguasa Tumasik, yang bernama Temagi dan kemudian menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Persoalan ini diketahui oleh Kerajaan Siam dan memutuskan untuk menuntut balas atas kematian Temagi. Parameswara dan pengikutnya mengundurkan diri ke Muar dan akhirnya sampai di Malaka lalu membuka sebuah kerajaan baru di sana pada tahun 1402 M. Menurut versi ini, kedatangan islam ke Malaka terjadi tahun 1406 M, ketika Parameswara menganut Islam dan mengganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah. Pengislamannya diikuti oleh pembesar-pembesar istana dan rakyat jelata. Dengan demikian Islam mulai tersebar di Malaka. Parameswara (Muhammad Iskandar Syah) memerintah selama 12 tahun. Baginda mendapati Malaka sebagai sebuah kampung dan meninggalkannya sebagai sebuah kota serta pusat perdagangan terpenting di Selat Malaka, sehingga orang-orang Arab menggelarinya sebagai malakat (perhimpunan segala pedagang). Kitab sejarah melayu (The Malay Annals), turun menceritakan bahwa raja Malaka, Megat Iskandar Syah, adalah orang pertama di kesultanan itu yang memeluk agama Islam. Selanjutnya ia memerintahkan segenap warganya baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah untuk menjadi Muslim.
2.2. Periode Pemerintahan
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:
1. Parameswara yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1402—1414)
2. Megat Iskandar Syah (1414—1424)
3. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4. Sri Parameswara Dewa Syah (1444—1445)
5. Sultan Mudzaffar Syah (1445—1459)
6. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Pada tahun 1414 Parameswara wafat dan digantikan putranya, Megat Iskandar Syah. Ia memerintah selama 10 tahun, dan kemudian digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya adalah Raja Ibrahim (Sri Parameswara Dewa Syah) yang tidak menganut Islam. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka V.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Di kemudian hari secara politik, Kesultanan Malaka membangun hubungan yang baik namun hati-hati dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi, Siak dan kepulauan Riau-Lingga juga takluk.
Dengan demikian Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka. Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi perdagangan emas di hampir seluruh semenanjung Melayu.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.



2.3. Politik Negara
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka.
Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan.
Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring.
Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar. Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat. Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.
Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut.
1. Esa hilang dua terbilang
2. Tak Melayu hilang di bumi.
3. Tuah sakti hamba negeri.
Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina. Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
2.4. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1406M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Salatus Salatin, juga merekam dengan baik peristiwa ini dan menceritakan bagaimana proses konversi Islam yang dialami Sultan Iskandar Muhammad Syah, di mana Rasulullah hadir dalam mimpinya dan mengajarkannya mengucap syahadat. Kedatangan seorang makhdum dari Jeddah yang bernama Syed Abdul Azis yang diberitakan dalam mimpinya, dikisahkan keesokan harinya menjadi kenyataan. Dari Syed inilah Sultan Iskandar Muhammad Syah dan rakyatnya mendalami Islam. Di negara Malaka yang terkenal sebagai pusat perdagangan Internasional, para sultan turut mendukung proses islamisasi, dengan turut meningkatkan pemahaman terhadap Islam dan berpatisipasi dalam pengembangan Islam. Pemerintah memberikan kontribusi yang besar dalam mensukseskan kegiatan dakwah. Sultan Malaka yang lebih dulu menganut islam misalnya, dilukiskan oleh Tome Pires – sebagaimana dikutip oleh A.C. Milner – sebagai orang yang telah mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada para raja dari negara- negara Melayu lainnya karena pengetahuannya yang luas tentang agama islam. Selain itu, para sultan Malaka – mulai dari sultan yang pertama – begitu juga para pejabat pemerintah sangat berminat terhadap ajaran Islam. Banyak di antara mereka yang berguru kepada ulama- ulama yang terkenal. Sebagai contoh, sejarah melayu menyebutkan Sultan Muhammad Syah berguru kepada Maulana Abdul Azis, Sultan Mansur Syah berguru kepada Kadi Yusuf dan Maulana Abu Bakar. Sementara Sultan Mahmud Syah, Bendara Seri Maharaja, Megat Seri Rama dan Tunai Mai Ulat Bulu berguru kepada Sadr Johan, begitu juga Sultan Ahmad yang belajar ilmu tasawuf kepadanya. Kaum ulama saat itu sangat dihormati dan dihargai. Kadi dan ahli fikih mempunyai kedudukan yang sama dengan pembesar negara yang lain. Sebagai ilustrasi, Wahid mengemukakan contoh menarik mengenai status tinggi yang dinikmati oleh para kadi dan sarjana Muslim ini. Katanya, seorang guru agama dari Arab, bernama Makhdum Sadr Johan, bisa menolak untuk mengajar penguasa Malaka, Sultan Mahmud Syah, ketika yang terahir ini menandatangi ruang kelasnya dengan menunggang seekor gajah. Hal yang sama juga terjadi pada Menteri Kepala (Bendahara), ketika yang terakhir ini datang ke kelasnya sambil minum. Penguasa Malaka yang lain, Sultan Mansur Syah, dikisahkan konon telah mencari nasihat keagamaan dari Makhdum Patajkan, sufi ‘alim yang sangat terkenal dari Pasai. Ini semua menunjukkan betapa para ulama dihormati dan dihargai. Selain turut mendalami ajaran islam, para sultan juga diceritakan turut meningkatkan syiar islam. Sejarah Melayu menceritakan bahwa Ramadhan, Sultan bersama pembesar istana turut berangkat ke mesjid melaksanakan shalat tarawih, di mana kala itu mesjid menjadi tumpuan umat islam terutama pada bulan Ramadhan. Respon sultan dan rakyat Malaka yang antusias terhadap kedatangan agama islam, pada gilirannya turut pula mengangkat posisi Malaka sebagai pusat kegiatan dakwah. Selain rakyatnya menyebarkan dakwah ke luar negeri, banyak pula orang luar yang datang ke Malaka untuk menuntut ilmu. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dua ulama dari jawa yang begitu terkenal sebelumnya, menamatkan pengajiannya di Malaka. Adalah melalui kekuasaan kerajaan Malaka, Islamisasi kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka menjadi salah satu pusat kunci dari mana islam berkembang dari sepanjang pesisir ke wilayah- wilayah seperti kepulauan Sulu di Filipina. Agaknya, luasnya pengaruh, kekuatan ekonomi dan kejayaan Malaka telah memungkinkannya – sampai derajat tertentu – menjadi pusat Islam pada saat itu. Kejayaan dan pengaruh Malaka yang begitu besar ini diakui oleh Tome Pires yang ada pada awal abad ke- 16, mencatat bahwa “Malaka begitu penting dan menguntungkan sehingga tampak bagi saya bahwa ia tidak ada tandingannya di dunia”. Selain itu, Sejarah Melayu seperti halnya laporan dari sumber- sumber Portugis maupun Cina, juga membicarakan dengan penuh semangat, walaupun dengan agak berlebihan, mengenai kejayaan dan keluasan pengarih dan kekuatan ekonomi Malaka, suatu pengaruh yang hanya dapat diimbangi oleh kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa. Malaka tidak hanya menguasai beberapa kerajaan yang telah masuk Islam seperi Aru, Pedir, dan Lambri, tetapi juga menguasai daerah- daerah baru di Sumatera yang juga telah masuk Islam seperti Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, Bengkalis, dan Lingga. Di samping itu, di Semenanjung Malaya, daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor, serta daerah lain yang telah menerima Islam juga mengakui kekuasaan kerajaan Malaka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam telah menjadi unsur penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan Malaka, pusat kunci dari mana Islam menyebar ke seluruh bagian lain di Nusantara. Sebagai pusat pengajian Islam, Malaka begitu peka terhadap perkembangan Islam. Langkah para sultan yang menitikberatkan pada pelayanan terhadap alim ulama memungkinkan Islam berkembang pesat. Sementara itu, Islam yang mempunyai dasar filosofis dan rasional yang kuat, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Melayu. Dalam kehidupan sehari- hari, ajaran Islam dan nilai yang konsisten dengan Islam, menjadi sumber penuntun hidup yang penting bagi Melayu.
Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).

2.5. Kehancuran
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.



BAB III PENUTUP
3.1      Kesimpulan
Jadi, Kesultanan Malaka (1402-1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu dari silsilah raja-raja Sriwijaya. Parameswara sendiri sebelumnya adalah Raja di Tumasik (Singapura) yang pada tahun 1401 mengungsi ke Utara (Melaka) akibat serangan Majapahit. Dan untuk memperkuat kerajaan barunya ia melakukan beberapa keputusan penting diantaranya melakukan perjanjian dengan kerajaan Ming dari Cina pada tahun 1403. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut terutama dari serangan Majapahit dan Siam.
Disamping itu Parameswara menikahi putri Pasai, sehingga menambah kokoh kerajaan baik secara militer maupun ekonomi. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim.
Di bawah Parameswara, Kesultanan Malaka menjadi menjadi kerajaan yang makmur ditambah dengan kekuatan militernya yang semakin berkembang. Adapun Panglima tertinggi yang
ditunjuk adalah Panglima Tuan Junjungan serta si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana angkatan laut yang 'berjaya' bernama Hang Tuah yang terkenal dengan sumpahnya,  "Ta' Melayu Hilang di-Dunia"
Pada tahun 1414 Parameswara wafat dan digantikan putranya, Megat Iskandar Syah. Ia memerintah selama 10 tahun, dan kemudian digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya adalah Raja Ibrahim. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka V.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Di kemudian hari secara politik, Kesultanan Malaka membangun hubungan yang baik namun hati-hati dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi, Siak dan kepulauan Riau-Lingga juga takluk.
Dengan demikian Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka. Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi perdagangan emas di hampir seluruh semenanjung Melayu.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian..

3.2     Kritik dan Saran
Mungkin dalam pembuatan makalah yang kami buat banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis bersedia menerima saran maupun kritik demi perbaikan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Sejarah Nasional Indonesia III. Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Balai Pustaka. Edisi Pemuktakhiran. 2008.
(2) http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Malaka
(3) http://id.wikipedia.org/wiki/Hang_Tuah

2 opmerkings:

  1. Salam... dan selamat. Baru kali ini saya baca sejarah kerajaan melaka yang akurat yang terbit dari pihak2 di indonesia. Sebelumnya semua sekadar ambil ambilan dari info yg salah.

    Ini saya tambah sedikit. Ketika pengembangan kekuasaan Melaka, telah berlangsung perjanjian dgn kerajaan siam bhw batas wilayah melayu dan siam adalah di genting kra, di selatan diakui milik melayu, di utara diakui milik siam. Sayangnya slps melaka jatuh, genting kra skrg jadi milik siam. Skarang dimasukkan dlm provinsi Ranong di Thailand.

    Salah satu sumbangan kerajaan melaka juga ialah pengembangan bahasa melayu hingga ke bagian timur. Perdagangan rempah yg maju dan jalinan yg kuat dengan kerajaan di maluku membawa kpd langkah pertama pengembangan bhs melayu hingga sejauh itu.

    AntwoordVee uit
  2. sangat membantu ^^. makasihh

    AntwoordVee uit