BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Secara etimologis,istilah Historiografi
berasal dari bahasa Yunani,yang terdiri dari 2 kata yaitu “Historia” dan “grafein”
yang berarti “gambaran”,”tulisan”.atau “uraian”.Istilah historia sudah dikenal
di Yunani sejak 500 SM. Misalnya
Hecataeus,menggunakan kata tersebut untuk menyebut penelitiannya tentang gejala alam yang
terdapat di daerah hunian manusia di Yunani.Istilah ini kemudian digunakan pula
oleh Herodotus untuk melukiskan Latar belakang geografis dalam karyanya
mengenai peperangan di persia (Betty Radice and Robert Baldick 1971).Dalam
perkembangan selanjutnya,istilah historia cenderung digunakan untuk menyebut
pengkajian kronologis tentang tindakan manusia pada masa lampau.Dalam bahasa
inggris kemudian dikenal dengan istilah Historigraphy,yang
didefinisikan secara umum sebagai “a
study of historical writing” (pengkajian tentang penulisan sejarah) Harry Elmer
barnes 1963.
Akan tetapi pada
hakekatnya hostoriografi mempunyai beberapa poengertian yaitu:
a.
Historiografi sebagai
bagian terakhir dari prosedur metode sejarah yang di artikan sebagai
“Rekonstruksi imajinatif tentang masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
dengan menempuh proses menguji,dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau” (LouisGottschalk 1975:32).Historiografi dalam
pengertian ini dapat dikategorikan sebagai proses penulisan secara objektif.
b.
Historiografi yang
diartikan sebagai pengkajian tentang karya-karya sejarah yang oernah
ditulis,atau pengkajian tentang sejarah yang bersifat subjektif.Dalam
pengertian ini sering dikatakan sebagai “sejarah dari sejarah” atau “Sejarah
dari penulisan sejarah” artinya pengkajian perkembangan penulisan sejarah.
Dalam pengertian pertama,historiografi
dikaji dalam mata kuliah “metode sejarah”,sedangkan mata kuliah Hostoriografi
mempelajari historiografi dalam pengertian kedua. Keanekaragaman bentuk,
isi, serta fungsi histiografi, disebabkan oleh adanya :
a.
Kultuurgebundenheit (
ikatan kebudayaan ) yang artinya suatu karya histiografi tidak terlepas dari
lingkungan kebudayaan tempat sejarawan dan karyannya dilahirkan.
b.
Tijdgebundenheit atau
Zeitgeist ( ikatan waktu atau jiwa Zaman ) , yang artinya : pandangan seorang
penulis sejarah yang terkandung dalam karyanya ditentukan oleh jiwa zaman yang
hidup pada masanya. ( Sartono Kartodirdjo, 1986 ).
Yang akan dijadikan pokok pengkajian
studi Histiografi ini meliputi, penulis sejarah, intelektualisasi serta
pengaruhnya terhadap bentuk, isi, fungsi dan permasalahan yang diajukan dalam
karya sejarah yang ditulis.
Di
Indonesia,historiografi dimulai dengan prasasti-prasasti yang dibuat oleh
penguasa pada awal abad ke-5 Masehi,sejak saat itu historiografi di indonesia
berkembang dalam berbagai bentuk.Akan tetapi penulisan sejarah (diluar
prasasti) baru dimulai oleh Mpu Prapanca yang pada tahun 1365 menulis kitab
Nagarakertagama atau Desawarnana ( Ayat Rohaedi, 1985 ). Sejak itu Historigrafi
Indonesia berkembang terus, baik dalam hal bentuk, isi, ruang lingkup maupun
pendekatanya, sehingga dikenal kategori – kategori Historigrafi Tradisional.
Histiografi kolonial. Histiografi Nasional dan Histiografi modern.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Mitos ?
2. Bagaimana peranan Mitos dalam penulisan Historiografi?
3. Bagaimana Dinamika Mitos dalam Sejarah?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui Pengertian
Mitos dalam Historiografi.
2.
Untuk mengetahui peranan
Mitos dalam penulisan Historiografi.
3.
Untuk mengetahui Dinamika
Mitos dalam penulisan Sejarah.
1.4 Manfaat
1.
Sebagai sumber informasi dan pengetahuan atas Historiografi
Tradisional.
2.
Sebagai motivasi untuk
melanjutkan penulisan Historiografi
di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk yang berbeda.
3.
Sebagai suatu
pengalaman dan pembelajaran dalam
pembuatan Historiografi Tradisional.
1.5
Metode
Adapun metode yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan “Historiografi
Tradisional Mitos” ,
kemudian mencari informasi dari media cetak maupun media elektronik, semisal
koran, televisi, internet dll.
BAB II PEMBAHASAN
Mitologi
merupakan salah satu peninggalan sejarah yang digarap secara tradisional
(tidak menggunakan metode keilmuan yang bersifat analitis-kritis), karena itu
mitologi dalam pandangan sejarah sebagai karya penulisan sejarah lokal atau
historiografi tradisional. Sebagai historiografi tradisional, isi atau muatan
mitos terdiri dari unsur sastra (prosa rakyat; tradisi lisan). Menurut Bascom
yang dikutip Danandjaya (1991) cerita rakyat atau folklor dibagi atas tiga
golongan besar, yaitu mitos, legenda dan dongeng. Mitos sering dianggap
benar-benar terjadi dan suci oleh masyarakat yang empunya cerita.
Histiografi
tradisional yang berusaha menggambarkan kenyataan yang ditangkap berdasarkan
emosi dan kepercayaan, salah satu karakteristik mitos adalah adanya
ketergantungan yang erat antara manusia dan kekuatan gaib diluar dirinya.
Artinya kemanusiaan itu senantiasa berada dibawah pengaruh tenaga – tenaga gaib
yang bersumber pada kekuatan tertentu, seperti penjuru mata angin, binatang –
binatang, planit – planit, pohon – pohon, gunung – gunung, dsb. Kekuatan gaib
ini dalam pandangan masyarakat penganut tradisi mitos, mungkin menghasilkan
kemakmuran, kesejahteraan atau berbuat kehancuran, malapetaka, bergantung
kepada = apakah manusia dapat atau tidak dapat menyelaraskan kehidupan dan
kegiatan mereka dengan jagat raya. Jadi terdapat kaitan erat antara dunia mikrokosmos
( manusia ) dengan makro kosmos ( jagat Raya ).
Keyakinan
semacam inilah yang disebut kosmis – magis atau theogony. Karakteristik lain dari
mitos adalah prinsip pars pro toto ( sebagian untuk semua ), yaitu usaha
untuk mengindentikkan yang sebagian dengan yang lainnya. Misalnya = kesaktian
sehelai rambut dari seseorang yang dianggap sakti, yang meliputi juga kesaktian
orang yang menyimpan rambut orang sakti tersebut. Contoh lain, seorang raja
yang sakti dianggap akan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakatnya.
Mitos
sebagai produk suatu kebudayaan, memegang peranan penting kelangsungan hidup
masyarakat, pemegang tradisi mitos, sehingga mitos harus dikenal, diturunkan
atau diwariskan kepada generasi penerusnya. Fungsi mitos disini adalah untuk
menjaga keharmonisan hidup dari luar. Berdasarkan pandangan diatas, kita
mengenal Histiografi
tradisional yang menceritakan tentang legenda asal-usul nenek moyang, Asal
usul
nama suatu tempat, dsb. Yang menurunkan tradisi mereka dianggap benar dan rasional.
Mitos
dapat dikategorikan sebagai karya sastra sejarah. Unsur-unsur sastranya terdiri
dari: cerita, mitos, legenda, ramalan, simbolisme, pantangan, dan lain-lain.
Unsur-unsur sastra ini kemudian dicampur-adukan dengan unsur-unsur sejarah.
Misalnya, dalam mitologi orang Sangir dan Orang Talaud, tokoh-tokoh yang
berperan (penulis batasi tokoh perempuan, seperti Kondawulaeng) adalah unsur
sejarah, diceritakan sebagai keturunan yang pertama (sejarah genealogi),
melalui keturunan bidadari-bidadari dan burung, (unsur mitos), kemudian menikah
dengan bidadari (legenda), dan seterusnya.
Mitos
sering dianggap sebagai suatu cerita yang aneh, sulit dipahami serta sulit
diterima kebenarannya karena tidak masuk akal, penuh kegaiban atau tidak sesuai
dengan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun begitu, dengan
dianggap gaib, tidak masuk akal itulah yang menjadikan mitos selalu menarik
perhatian dari sarjana berbagai disiplin dan masyarakat umumnya. Kebenaran
peristiwa maupun tokoh dalam mitos sulit dibuktikan, tetapi harus diakui bahwa
mitos merupakan sociofact yang ada dalam masyarakat, sukubangsa, dan bangsa di
dunia manapun.
Di
Sulawesi Utara misalnya masyarakat Minahasa mengenal mitos Toar dan Lumimuut,
masyarakat Gorontalo dengan mitos Hulontalangi atau pengembara yang turun dari
langit, masyarakat Bolaang-Mongondow mengenal mitos Gumalangit dan Tendeduata,
dan masyarakat Sangir-Talaud mengenal mitos Gumansalangi dan Bidadari (Pulau
Sangir Besar), Sense Madunde (Pulau Siau), Alamona Ntaumata Ntalodda (Talaud).
Mitos
berawal dari sebuah tradisi lisan yang berhubungan ritus-religius. Bagi kaum
teolog, mitos merupakan cerita suci yang berwujud simbol-simbol yang
mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner mengenai asal-usul dan
perubahan alam, dunia langit, dewa-dewi, kekuatan adikodrati-supernatural,
manusia, kepahlawanan, dan masyarakat.
Persoalan
sekarang, adalah bagaimana kita mengembangkan metodologi yang tepat untuk
memanfaatkan tradisi lisan (mitos) sebagai sumber sejarah. Menurut Vansina (1991)
tradisi lisan atau mitos merupakan sumber sejarah yang potensial yang dapat
dianggap sebagai historiology—jangan dulu dianggap sebagai historiografi.
Dengan kata lain, tradisi lisan lebih merupakan suatu hipotesa, seperti halnya
sejarawan juga punya hipotese tentang masa lampau yang mau dikaji. Posisi
sejarawan, pertama-tama harus menempatkan mitos sebagai hipotese sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber sejarah. Metodologi lain adalah dengan
membandingkan unsur-unsur sejarah dalam mitologi yang akan digunakan, perlu ada
cek and ricek dengan sumber lain, atau ada sumber pembanding guna memperoleh
kebenaran. Metodologi seperti ini dikenal dengan prinsip “coherence theory of
truth” (Ankersmit, 1987).
2.1
Mitos Mengandung Maksud
Mitos merupakan pencampuradukan
dewa-dewa manusia, sejarah dan perristiwa keseharian. Hal-hal itu bercampur
dalam sebuah penulisan sejarah. Sehingga untuk menjadikan karya penulisan
sejarah itu mejadi sebuah sumber sejarah perlu dilakukan sebauh kritik sejarah
yang relevan. Mitos diperlukan karena keinginan pujangga sebagai tokoh yang mengadakan
penulisan sejarah dengan dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Mitos akan melukiskan sejarah dari
perlaku-perilaku supranatural. Perilaku supranatural menurut akal sehat sangat
sulit untuk diterima, melainkan dalam melihat konteks supranatural tersebut
perlu menggunakan kaca mata yang berbeda. Perilaku supranatural tersebut ada
karena pada zaman penulisan hal itu merupakan sebuah sifat linuwih,
sehingga orang itu memiliki sebuah kedudukan dan kehormatan. Selain itu
didukung oleh keadaan masyarakat yang masih percaya akan hal itu, menjadikan
hal-hal yang bersifat supranatural dapat berkembang secara pesat.
Mitos mengangap sejarah sebagai hal
yang mutlak kebenarannya dan keramat. Sejarah merupakan sebuah peristiwa masa
lalu, namun peristiwa itu tidak dapat menyampaikan kebenaran peristiwa tersebut
secara mutlak. Sejarah dalam arti objektif adalah peristiwa masa lampau yang
telah terjadi. Namun, sejarah pada kategori historiografi tradisional
mendapatkan sebuah tekanan untuk menyakini, bahwa peristiwa terjadi seperti apa
yang telah dituliskan oleh pujangga atau sejarawan yang menulis sebuah
peristiwa dalam konteks kebudayaan Jawa. Masyarakat yang hidup pada masa historiografi
tradisional tidak diberikan untuk menginterprestasikan sebuah peristiwa yang
telah terjadi.
Mitos akan selalu menghubungkan
antara seseorang dengan ”pencipataan” tentang keberaan, institusi, dan
perilaku. Menghubungkan seorang tokoh dengan proses penciptaan merupakan sebuah
supremai kekuasaan, dan dapat diartikan sebagai sebuah pandangan sempit
tentangtokoh tersebut. Tokoh tersebut diagambarkan seakan-akan sebagai perfect
man atau orang yang sempurna. Padahal dalam dunia ini tidak ada manusia
yang sempurna. Masyarakat akan selalu berpikir untuk melawan atau berperilaku,
dan berhubungan dengan orang tersebut. Dari situ memunculkan konsep tentang sabdo
pandhita ratu yang berrati bahwa ucapan seorang raja sama dengan sabda
Tuhan. Mnejadikan perintah raja tidak boleh ditolak atau tidak boleh tidak
dijalankan.
Mitos dapat sebagai alat untuk
mencari asal-usul. Asal-usul hal dalam ini dapat diartikan sebagi asal-usul
sebuah tempat atau asal-usul seseorang. Sebagai contohnya bila diketahui
tentang asal-usul seseorang, orang akan dapat melakukan sebuah kontrol dan
memanipulasi sesuatu sesuai kehendaknya. Kontrol tersebut akan memberikan
sebuah kekuasaan atau legitimasi. Dalam hal tersebut dapat dilihat mengenai
asal-usul Sultan Agung yang dapat diartikan sebagai sebuah mitos. Sultan Agung
dalam historiografi tanah Jawa merupakan keturunan dari Nabi Adam dan
tokoh-tokoh pewayangan. Hal itu memnag sulit untuk diterima apalagi Sultan
Agung merupakan keturunan dari seorang tokoh pewayangan.
Dalam sebuah penghayatan mengenai
mitos seseorang atau dalam hal yang lebih luas lagi masyarakat akan hidup dalam
alam yang serba keramat. Seseorang yang hidup dalam alam yang serba keramat
akan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup. Bila dapat mengkontrol hal
terbut ketertiban masyarakat akan terjamin dan berlangsung sesuai keinginan
seorang penguasa.
Mitos dapat diartikan sebagi alat
penertiban tertib sosial. Seorang pujangga akan berusaha menyampaikan maksud
politiknya untyk memperkuat kedudukan sng patrion atau seorang penguasa.
Sebagai contohnya dalam serat cebolek, Pembangunan yang dilakukan oleh
para priyayi adalah pembangunan mentalitas. Pembangunan mentalitas dilaksanakan
karena kerajaan (Kartasura) telah kehilangan ”kekuasaan politiknya”. Kekuasaan
yang dimiliki seorang raja untuk memerintah, terlalu banyak dicampuri oleh
kepentingan kompeni. Raja tidak memiliki kekuasaan untuk memimpin kerajaannya.
Untuk tetap memiliki pengaruh pada rakyat, untuk tetap memiliki kekuasaan pada
diri setiap masyarakat Jawa. Sehingga raja berupaya untuk menanamkan
kekuasaannya pada bidang spiritualis dan mentalitas masyarakat Jawa.
Pembangunan mental spiritual dan
mentalitas akan terlaksana bila kerajaan memiliki alat. Alat inilah sebagai
motor penggerak mencapai tujuan pembangunan itu. Motor penggerak itu berupa
kepemimpinan komunitas Islam. Kepemimpinan komunitas Islam berasal dari
golongan elit agama. Golongan itu berasal dari kalangan guru, haji, dan kiai.
Golongan ini memiliki peranan penting dalam pelaksanaan ritual-ritual
keagamaan, dan memberikan pelayanan keagamaan.
.
2.2 Dinamika
Mitos Dalam Sejarah
Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos,
yang berarti dongeng (Kuntowijoyo, 1999:7). Lama sebelum manusia menulis
sejarah secara ilmiah, mitos telah lebih dulu hadir dan mampu menjawab
pertanyaan “wie es eigentlich gewesen,” yaitu bagaimana sesuatu
sesungguhnya bisa terjadi (Kartodirdjo, 1982:16). Dengan kata lain, secara
historis, sebenarnya mitos adalah nenek moyang sejarah. Keduanya sama-sama
berupaya menceritakan masa lalu dengan caranya masing-masing.
Kuntowijoyo (1999:8) membedakan
mitos dan sejarah hanya pada dua titik singgung. Pertama, mitos memiliki unsur
waktu yang tidak jelas. Berbeda dengan sejarah yang menekankan pada keberadaan
unsur waktu yang kronologis, justru mitos mengabaikan peranan waktu sama
sekali. Mitos tidak memiliki perhatian pada awal, akhir, kapan suatu peristiwa
terjadi, atau suatu urutan masa tertentu yang kronologis. Ia sengaja tidak
menjelaskannya secara tegas karena bagi mitos bukan waktu yang terpenting dalam
menjelaskan kapan suatu peristiwa terjadi, melainkan lebih mengutamakan apa dan
bagaimana sesuatu terjadi. Kartodirdjo (1982:16) menilai, mitos lebih berfungsi
untuk membuat masa lalu bermakna dengan memusatkan kepada bagian-bagian masa
lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum, karenanya dalam
mitos tidak ada unsur waktu yang jelas.
Titik singgung yang kedua, terletak
pada anggapan bahwa mitos memuat kejadian yang tidak masuk akal—menurut sudut
pandang orang masa kini. Pada titik inilah, sejarawan modern dengan arogan
menganggap mitos tidak layak menjadi bagian dari sejarah. Sejarah modern
mengklaim bahwa ia mampu menjelaskan masa lalu menurut standar rasio yang
berlaku di masa sekarang. Mitos yang seringkali menjelaskan masa lalu yang
kabur dari pandangan manusia, akhirnya dibalut dengan berbagai takhayul untuk
menjelaskan suatu fenomena. Inilah usaha manusia rasional untuk menjelaskan masa
lalu. Sebagai contoh kasus, ada mitos dogmatis—yang diimani oleh agama-agama
besar saat ini—bahwa manusia pertama yang ada di dunia adalah Adam dan Hawa
yang diciptakan dari tanah. Namun kapan Adam dan Hawa diciptakan dan kapan
mereka diturunkan ke dunia? tidak terdapat petunjuk waktu yang jelas untuk
menjawab pertanyaan ini. Pun pertanyaan, bagaimana tanah bisa menjadi manusia
juga tidak akan pernah bisa dijawab oleh rasio manusia dewasa ini. Meski
demikian, manusia yang beriman bisa menjelaskan tentang bagaimana mereka
diciptakan dan mengapa mereka diturunkan ke dunia secara lengkap dan mendetil
walau tanpa disertai penunjuk waktu kapan peristiwa itu terjadi.
Menurut Horkheimer (dalam
Sindhunata, 1982:123-124), mitos adalah keirasionalan, takhayul atau khayalan,
pendeknya sesuatu yang tak berada dalam kontrol kesadaran dan rasio manusia.
Yang perlu dipahami, bahwa mitos sebenarnya merupakan percobaan-percobaan
manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tentang
alam semesta, tentang dirinya sendiri. Dalam mitologi Yunani, seperti yang
dituturkan dalam syair-syair Heseidos, Pherekydes, dan Homeros, memang mereka
sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia tentang alam semesta itu, tapi
jawaban yang diberikan justru dalam bentuk mitos yang meloloskan diri dari
tiap-tiap kontrol pihak rasio. Baru pada abad enam sebelum Masehi, mitos
digebrak oleh rasio, dan sejak saat itu orang mulai mencari-cari jawaban
rasional tentang problem-problem yang diajukan alam semesta. Logos (akal
budi, rasio) sudah mengemansipasikan diri dari mitos. Horkheimer lebih menunjuk
titik ini sebagai awal aufklarung bukan abad kedelapan belas Masehi.
Maka otoritas dewa-dewa dalam mitos secara perlahan digusur oleh pengertian
rasional manusia. Bagi Anaxagoras, pelangi bukan lagi merupakan titian dewi
jelita yang sedang bertugas sebagai duta bagi dewa-dewa lain, tapi pelangi
adalah pantulan cahaya matahari dalam awan-awan (Sindhunata, 1982:69-70).
Ketika rasional diutamakan dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia akan diri dan alamnya, maka terjadilah
revisi total melalui proses demitologisasi. Demitologisasi merupakan
upaya-upaya sadar untuk menghilangkan mitos dengan cara memberi jawaban
alternatif yang lebih rasional dan diterima oleh logika manusia. Tentu setiap
peradaban memiliki periode yang berbeda-beda sebagai titik peralihan tahap
mitos ke rasional.
Hubungan mitos dengan sejarah dengan
demikian mengalami pasang surut sesuai dengan jiwa zaman yang berlaku. Pada
awalnya, mitos dengan sejarah tidak bisa dibedakan dengan tegas karena keduanya
berupaya untuk menjelaskan masa lalu sesuai dengan kemampuan dalam eksplanasi
yang bisa dijangkau manusia kala itu. Ketika mitos dinegasikan akibat
menguatnya posisi rasio dalam menjelaskan masa lalu, mitos akhirnya dicampakkan
oleh sejarah. Bahkan sejarah tidak mengakui hubungan kekerabatannya dengan
mitos. Sejarah akhirnya memadu kasih secara monogami dengan rasio, untuk
menjelaskan masa lalu manusia. Ironisnya, rasio yang dipakai manusia dalam
menjelaskan masa lalunya, terkadang—untuk tidak mengatakan selalu—terjebak
dalam upaya untuk menciptakan masa lalu sesuai dengan harapannya. Secara tidak
sadar, manusia menciptakan mitos-mitos baru dalam penulisan sejarahnya.
Mengenai bukti bahwa manusia secara tidak sadar—maupun sadar—menciptakan mitos
dalam sejarah yang rasional, akan dibahas pada bagian berikutnya dengan contoh
kasus pada sejarah Indonesia.
Kondisi yang semacam ini, adalah
sejalan dengan pemikiran Horkheimer. Menurutnya, usaha manusia rasional adalah
mitos, sebab usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri, tidak otonom,
tidak dapat mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi, ada,
dan mengenal dirinya hanya berkat dan di dalam mitos. Dengan kata lain,
usaha manusia rasional itu niscaya atau tidak dapat tidak adalah mitos sendiri.
Sebaliknya, pada hakekatnya mitos itu adalah usaha manusia rasional, sebab
tanpa usaha manusia rasional mitos tidak akan mengenal dirinya sebagai mitos.
Baru dengan usaha manusia rasional mitos terjadi, ada dan mengenal dirinya
sebagai mitos. Jadi mitos juga tidak otonom, tidak dapat berdiri sendiri, tidak
dapat mengenal dirinya sendiri: mitos terjadi, ada, dan mengenal dirinya
sendiri hanya berkat dan di dalam usaha manusia rasional. Dengan kata
lain, mitos niscaya atau tidak dapat tidak adalah usaha manusia rasional
sendiri (Sindhunata, 1982:124).
Bukti yang lain, adalah keberadaan
aliran posmodernisme yang mengkritik habis sejarah yang mengklaim dirinya
rasional dan terbebas dari mitos, ternyata mengandung berbagai mitos sebagai
upaya pengagungan terhadap masa lalu dan dirinya sendiri. Dekonstruksi yang
ditawarkan oleh posmodernisme, membawa harapan rasional yang baru untuk
menghapuskan mitos dalam sejarah modern. Celakanya, posmodernisme kelak akan
terbukti hanya membawa mitos baru belaka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mitos
sering dianggap tidak masuk akal akan tetapi kenyataannya ada kelompok
masyarakat tertentu menempatkan mitos sebagai bagian dari kehidupannya
(kebudayaan setempat). Dalam kajian sejarah mitos dapat digunakan sebagai
sumber analisis dalam proses narasi historis. Sekecil apapun terdapat nilai
kebenaran sejarah yang mengikuti jalannya cerita mitos tersebut.
Histiografi
tradisional yang berusaha menggambarkan kenyataan yang ditangkap berdasarkan
emosi dan kepercayaan, salah satu karakteristik mitos adalah adanya
ketergantungan yang erat antara manusia dan kekuatan gaib diluar dirinya.
Artinya kemanusiaan itu senantiasa berada dibawah pengaruh tenaga – tenaga gaib
yang bersumber pada kekuatan tertentu, seperti penjuru mata angin, binatang –
binatang, planit – planit, pohon – pohon, gunung – gunung, dsb. Kekuatan gaib
ini dalam pandangan masyarakat penganut tradisi mitos, mungkin menghasilkan
kemakmuran, kesejahteraan atau berbuat kehancuran, malapetaka, bergantung
kepada = apakah manusia dapat atau tidak dapat menyelaraskan kehidupan dan
kegiatan mereka dengan jagat raya. Jadi terdapat kaitan erat antara dunia mikrokosmos
( manusia ) dengan makro kosmos ( jagat Raya ).
Mitos
sebagai produk suatu kebudayaan, memegang peranan penting kelangsungan hidup
masyarakat, pemegang tradisi mitos, sehingga mitos harus dikenal, diturunkan
atau diwariskan kepada generasi penerusnya. Fungsi mitos disini adalah untuk
menjaga keharmonisan hidup dari luar. Berdasarkan pandangan diatas, kita
mengenal Histiografi
tradisional yang menceritakan tentang legenda asal-usul nenek moyang, Asal
usul
nama suatu tempat, dsb. Yang menurunkan tradisi mereka dianggap benar dan rasional.
3.2 Kritik dan Saran
Mungkin
dalam pembuatan makalah yang kami buat banyak kekurangan dan kesalahan, maka
dari itu penulis bersedia menerima saran maupun kritik demi perbaikan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1999. Posmo: Apa Sih?. Dalam Suyoto (eds), Posmodernisme
dan Masa Depan Peradaban (hlm.21-24). Yogyakarta: Aditya Media
Hakim, M. Arief. 1999. Sinyal ‘Kematian’ Posmodernisme.
Dalam Suyoto (eds), Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban
(hlm.303-309). Yogyakarta: Aditya Media
Hardiman, Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,
Masyarakat, Politik, dan Posmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia: suatu alternatif. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Nordholt, Henk Schulte; Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari.
2008. Memikir Ulang Historiografi Indonesia. Dalam Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds). Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia (hlm.1-31) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KITLV-Jakarta, & Pustaka Larasan
The King Casino Archives - Hertzaman
AntwoordVee uitThe King Casino 1등 사이트 Archives, including news, articles, videos, address, herzamanindir.com/ gaming info, The King Casino & Hotel in Henderson, NV is www.jtmhub.com one of the newest 1xbet login hotels and motels on