Vrydag 22 Maart 2013

makalah banten dan mataram menghadapi VOC belanda


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
    Adapun faktor yang mendorong diadakannya ekspedisi bangsa barat yaitu:
Perubahan ekonomi dan social di Eropa mendorong bangsa Eropa menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
a). Perang Salib
Terjadi tahun 1070 karena perebutan kota Jerusalem.
Penyebab perang salib:
1) Keinginan bangsa Eropa untuk membantu Spanyol merebut wilayahnya yang jatuh ke tangan Arab.
2) Semangat bangsa Eropa merebut kota Jerusalem atas dorongan Paus Urbanus II.
3) Keinginan Paus Urbanus II untuk mempersatukan kembali gereja Katolik di bawah Roma.
Perang salib berlangsung dari tahun 1070 – 1291 (221 tahun).
b). Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ditemukannya kompas sebagai alat petunjuk arah, ditemukan teori bahwa bumi itu bulat, dan peredaran tata surya berpusat pada matahari.
c). Penjelajahan Samudra
Tujuan penjelejahan samudra:
1) Adanya keinginan untuk memiliki kekayaan (gold)

(1)
(2)
2) Adanya keinginan mencari kekuasaan dan kejayaan (gospel)
3) Penyebaran agama Nasrani (glory)
     
          Mahal dan langkanya rempah-rempah di dunia barat, menyebabkan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari cara lain demi mendapatkan rempah-rempah sebanyak mungkin. Jalan yang ditempuh bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah adalah dengan mencari daerah yang di wilayah tersebut terdapat rempah-rempah yang berlimpah ruah termasuk Indonesia sendiri.
      Maka di mulailah Ekspedisi bangsa barat yang dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang kemudian jejak kedua negara ini di ikuti oleh bangsa lain termasuk bangsa Belanda. Dari faktor dan tujuan bangsa barat melakukan ekspedisi, Indonesia menjadi daerah dan wilayah yang sesuai dengan kriteria dilakukannya ekspedisi tersebut termasuk daerah Banten dan Mataram yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Kapan bangsa Belanda pertama kali datang ke daerah Banten? Serta bagaimana sikap masyarakat Banten untuk pertama kalinya atas kedatangan Bangsa Belanda?
2.      Apa yang menyebabkan bangsa Belanda datang ke daerah Banten?
3.       Mengapa tentara Mataram menyerang kantor dagang VOC pada tanggal 18 Agustus 1618?


(3)
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui datangnya bangsa Belanda di Banten serta sikap yang diberikan masyarakat pribumi untuk pertama kalinya.
2.      Mengetahui tujuan bangsa Belanda datang ke daerah Banten.
3.      Mengetahui sebab dari penyerangan tentara Mataram terhadap kantor dagang VOC.
1.4  Manfaat
1.      Sebagai sumber informasi dan pengetahuan atas penjajahan dan perjuangan bangsa Indonesia.
2.      Sebagai motivasi untuk melanjutkan perjuangan bangsa di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk yang berbeda.
3.      Sebagai suatu pengalaman bangsa yang jangan sampai terjadi kembali penjajahan di masa sekarang dan selanjutnya.
1.5  Metode
    Adapun metode yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan kolonialisme yang terjadi di Banten dan Mataram, kemudian mencari informasi dari media cetak maupun media elektronik, semisal koran, televisi, internet dll.
  





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedatangan Bangsa Belanda di Banten
Berbeda dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki tidak lagi menguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa.Pedagang-pedagang Inggris, Belanda dan sebagainya membeli rempah-rempah dari Lisabon. Apalagi daerah-daerah penghasil rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis.
Pengangkutan rempah-rempah dari Lisabon mendatang-kan keuntungan banyak bagi pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke Jerman dan negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan “Perang Delapan Puluh Tahun” mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan menjadi tidak lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil menduduki Portugal pada tahun 1580.
Raja Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui bahwa kemakmuran Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal, memukul Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena persediaan berkurang.
(4)
(5)
Situasi perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol. Hal-hal semacam inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan dengan negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa diketahui patroli Spanyol. Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu dilaksanakan melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu bumi seperti Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai pandangan-pandangannya. Ketika itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam bahasa Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua Asia dan mengenai Hindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama, barang dagangan yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia itu. Pengarang buku ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan pernah tinggal beberapa lama di Goa, India.
Untuk menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang Belanda, dibantu oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba mengarungi Laut Es, sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan memperoleh jalan tersingkat menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali percobaan ekspedisi ini dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami kegagalan. Kapal mereka terjepit di tengah-tengah lautan es di dekat pulau Nova Zembla, sehingga separoh anak buah kapalnya meninggal karena kedinginan.

(6)
Laksamana Jacob vanHeemskerck yang memimpin pelayaran itu kembali ke Amsterdam dengan susah payah menghabarkan kegagalan ekspedisinya.Akhirnya pedagang-pedagang Amsterdam memper-siapkan empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia melalui Tanjung Harapan. Pada tangga 2 April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak dari pangkalan Tessel, Belanda Utara, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan perdagangan, dan Pieter de Keyser mengepalai urusan navigasi. Karena adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi pertama ini, maka sering terjadi keributan yang berasal dari perbedaan pendapat di antara keduanya. Hal demikian akhirnya menimbulkan perkelahian di antara anak buah kapal, sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas. Namun demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengan keberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596.
Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh. Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan lada yang memang mereka butuhkan. Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan sewa yang memadai.

(7)
Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang datang.
Tapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu panen lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi Jayanegara marah. Lebih parah lagi, orang-orang Belanda itu pada suatu malam, menyeret dua buah kapal dari Jawa yang penuh dengan lada ke kapalnya dan memindahkan semua isinya. Dan dengan membawa muatan hasil rampokan itu mereka pergi sambil menembaki kota Banten. Melihat kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten — yang baru saja kehilangan sultannya — sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke kapal Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan tebusan 45.000 gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman dilepaskan dan diusir dari Banten (2 Oktober 1596).
Pada tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat dari Nederland menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh Jacob van Neck dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28 Nopember 1598 rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh rakyat Banten karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman pertama yang merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran.


(8)
Mereka pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan dengan Mangkubumi, bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan. Dengan membawa hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van Neck menghadap kepada Sultan Abdul Mafakhir. Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara Banten dalam penyerangan ke Palembang — sebagai pembalasan atas kematian Sultan Muhammad — dengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck menyetujui usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu kapal dan sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran sekaligus setelah penyerangan selesai, maka penyerangan ke Palembang tidak diteruskan. Van Neck kembali ke Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan, sedangkan van Waerwijk dan van Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku dengan lima buah kapal.
Dengan keberhasilan dua ekspedisi dagang ke Indonesia ini akhirnya berduyun-duyunlah orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat pada tahun 1598 saja ada 22 kapal milik perorangan dan perikatan dagang dari Nederland menuju Indonesia. Bahkan tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia dengan muatan penuh. Suatu hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka dengan membawa hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan mahal. Mereka minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda dan apabila orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau diusir. Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan mengadakan pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten dan negeri timur lainnya.
(9)
Mangkubumi Jayanagara menerima semua hadiah tersebut, tapi, secara rahasia, diutusnya kurir untuk menyam-paikan berita itu kepada pedagang Belanda, supaya mereka segera meninggalkan Banten karena armada Portugis akan menyergap mereka. Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan Banten. Tidak lama kemudian pada tahun 1598 sampailah angkatan laut Portugis dipimpim oleh Laurenco de Brito dari pangkalannya di Goa. Setelah dilihatnya tidak ada satu pun kapal Belanda yang berlabuh di Banten, marahlah mereka. Mangkubumi dituduh telah berhianat dan bersekongkol dengan Belanda karena membocorkan rahasia, dan menuntut supaya Mangkubumi mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan. Sudah tentu Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan mereka, karena Portugis tidak ada hak dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal asing yang sedang berlabuh di Banten. Dengan kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten, barang-barang yang ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada kepunyaan pedagang dari Cina pun dirampasnya pula.
Melihat kejadian itu, tentara Banten, yang memang sudah dipersiapkan, menyerang kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga buah kapal Portugis dapat dirampas dan seorang laksamananya tewas; sedangkan yang lainnya melarikan diri, setelah meninggalkan barang hasil rampasannya. Karena persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda yang berlomba-lomba untuk mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka keuntungan mereka pun sedikit, dan bahkan rugi — dari data-data yang dikumpulkan, ternyata kerugiannya mencapai 5 laksa gulden. Melihat kenyataan ini maka pada tahun 1602 dibentuknya persatuan dagang yang kemudian diberi nama “Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama 6,5 juta
(10)
gulden dan berkedudukan di Amsterdam; dan tujuannya adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, di samping untuk memperkuat kedudukan Belanda melawan kekuasaan Portugis dan Spanyol.
Berdirinya VOC ini dibantu oleh pemerintah kerajaan Belanda, sehingga VOC diberi hak-hak sebagai berikut :
  • 1)     Hak monopoli untuk berdagang di wilayah antara Amerika dan Afrika.
  • 2)     Dapat membentuk angkatan perang sendiri, mengadakan peperangan, mendirikan benteng dan bahkan menjajah.
  • 3)     Berhak untuk mengangkat pegawai sendiri.
  • 4)     Berhak untuk membuat peradilan sendiri (justisi).
  • 5)     Berhak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
Sebaliknya VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah kerajaan Belanda, yaitu :
  • 1)   Bertanggung jawab kepada Staten General (Dewan Perwakilan Rakyat Belanda).
  • 2)   Pada waktu perang harus membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang.
Pembentukan VOC di samping untuk menyatukan langkah dalam perdagangan dan modal, juga didorong dengan adanya saingan baru yang dianggapnya berat, yaitu pedagang-pedagang Inggris yang telah membentuk satu kongsi dagang yang bernama EIC (East India Compagnie) pada tahun 1600. Untuk memudahkan gerak dan siasat
(11)
dagangnya, VOC membuka kantor-kantor cabang di Middelberg, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setelah dirasa kedudukan VOC sudah mapan, maka pada tahun 1610 dibuka pula kantor dagang untuk Hindia Timur atau Kepulauan Nusantara, dengan Pieter Both menjadi Gubernur Jendral yang dibantu Dewan Penasehat (Raad van Indie) yang anggotanya terdiri dari 5 orang. Dicarinya daerah-daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan di Hindia Timur ini. Alternatif pertama dipilihnya Johor, tetapi karena Johor terlalu dekat dengan Malaka yang duduki Portugis, maka dipilihnya alternatif kedua yakni Banten. Walaupun di Banten telah berdiri perwakilan dagang VOC sejak tahun 1603 — yang diketuai oleh Francois Wittert — tapi karena di Banten pun Mangkubumi Arya Ranamanggala selalu bertindak tegas dalam menghadapi orang-orang asing, pilihan ini dibatalkan. Akhirnya VOC menetapkan Jayakarta sebagai pusat kegiatannya, karena walau pun Jayakarta di bawah kuasa Banten, namun penguasa di sana tidak begitu kuat. Maka pada tahun 1610 berangkatlah Pieter Both dari Amsterdam menuju Jayakarta bersama dengan 8 buah kapal besar. Pada bulan Nopember 1611 VOC berhasil mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Untuk mengontrol tindakan VOC, Pangeran Jayakarta membolehkan perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East India Company (EIC) membuat kantor dagangnya di Jayakarta, berhadapan dengan kantor dagang VOC.




(12)
2.2 Kesultanan Banten Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa Dalam Menghadapi Belanda
Penobatan Pangeran Surya terjadi pada tanggal 10 Maret 1651, seperti tanggal surat ucapan selamat Gubernur Kompeni Belanda Kepada Sultan. Untuk memperlancar roda pemerintahan, sultan mengangkat beberapa orang untuk membantu dirinya. Jabatan Patih Mangkubumi diserahkan kepada Pangeran Mandura dengan wakilnya Tubagus Wiraatmaja, Sebagai Kadhi atau Hakim Agung Negara diserahkan kepada Pangeran JayaSentika. Tapi Pangeran Jayasentika tidak lama menjabat sebagai kadhi, beliau wafat dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmudin. Faqih Najmudin adalah menantu dari Sultan Abul Mafakhir yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk mempermudah pengawasan daerah kekuasaan, Sultan mengangkat beberapa Ponggawa atau Nayaka. Mereka berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Selain itu Mangkubumi juga mengawasi keadaan para prajurit kerajaan. Senjata-senjata di tambah. Rumah para Senoptai diatur sedemikian rupa, agar mudah mengontrol para prajurit.Pangeran Surya yang kemudian bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah seorang ahli strategi perang. Hal ini sudah dibuktikannya sejak beliau menjadi putera mahkota. beliau lah yang mengatur strategi perang gerilya saat menyerbu belanda di Batavia.
Seperti juga kakeknya, Pangeran Surya pun tidak melepaskan dari Kekhalifahan Islam di Makkah. hubungan ini keharusan untuk memperkuat kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam kesewenangan. Dari dari Kekhalifahan pulalah Pangeran mendapatkan gelar Sultan 'Abulfath Abdulfattah. Dari hubungan ini
(13)
Sultan mengharapkan bantuan dari Khalifah untuk mengirimkan guru agama ke Banten. Selain itu Sultan pun tidak setuju dengan pendudukan bangsa Asing atas negaranya, dan untuk memperkuat pertahanan (terutama dari serbuan Belanda di Batavia), sultan memperkuat pasukanya di Tangerang yang telah menjadi benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Belanda. Dari tangerang ini pulalah pada tahun 1652 Banten menyerbu Batavia. Melihat situasi yang semakin memanas, pihak kompeni mengajukan usul perdamaian. Namun sultan bertekad untuk menghapuskan para penjajah di bumi Nusantara, sultan melihat berbagai kecurangan pada setiap perjanjian yang diajukan oleh pihak Belanda, sehingga Sultan pun menolaknya. Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang melakukan gerilya besar-besaran. Perusakan dan sabotase yang dilakukan para prajurit Banten banyak merugikan pihak Kompeni. Untuk menghadapi serangan Belanda yang lebih besar, Sultan mempernaiki hubungan dengan Cirebon dana Mataram, bahkan dari Inggris, Prancis dan Denmark, Sultan mendapat kemudahan memperoleh senjata api untuk peperangan. Daerah kekuasaan Banten (Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri dan daerah lainnya) diminta mengirimkan prajuritnya untuk bergabung dengan para prajurit yang berada di Surosowan. Rakyatpun mendukung langkah Sultan untuk mengusir Penjajah. Mereka bertekad lebih baik mati daripada berdamai dnegan penjajah. Sedangkan kompeni mempekuat pasukkannya dengan prajurit-prajurit sewaan yang berasal dari Kalasi, ternate, Bandan, kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis.


(14)
Pada tanggal 29 April 1658 datang utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rancangan perjanjian perdamaian, namun Sultan kembali melihat kecurangan dibalik naskah perjanjian tersebut, pihak kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658 Sultan mengirimkan utusan ke Batavia untuk melakukan perubahan perjanjian. Namun perubahan dari Sultan di tiolak oleh Belanda. Kompeni hanya menginginkan Banten membeli rempah-rempah dari Belanda dan itupun harus ditambah pajak. Penolakan tersebut membuat Sultan sadar, bahwa tidaklah mungkin ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang saling berbeda kepentingan. Maka pada tanggal 11 Mei 1658 Sultan mengirim surat balasan yang menyatakan bahwa "BANTEN dan KOMPENI TIDAK AKAN MUNGKIN BISA BERDAMAI .Maka terjadilah pertempuran hebat di darat dan di laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti sejak bulan Juli 1658 hingga tanggal 10 juli 1659.
Selain di Tangerang, Sultan juga membuat kampung para prajurit di Tirtayasa, bahkan akhirnya sultan pun menyuruh mendirikan istana di kampung tersebut. Yang nantinya digunakan sebagai pusat kontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia disamping untuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Tirtayasa dijadikan penghubung antara Istana di Surosowan dengan Benteng pertahanan di Tangerang. Hal ini akan mempersingat jalur komunikasi sultan. Disamping jalan darat yang sudah ada, juga dibuat jalan laut yang menghubungkan Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus dari Pontang-Tanara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat - melalaui sungai CIkande sampai pantai Pasiliyan. Saluran ini dibuat
(15)
cukup besar, hingga mampu dilewati kapal perang ukuran sedang. Saluran ini dibuat dari tahun 1660 hingga sekitar tahun 1678. Selain di Tirtayasa Sultan pun berusaha menyempurnakan dan memperbaiki keadaan didalam ibukota kerajaan. Dengan bantuan beberapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah masuk Islam, diantaranya adalah Hendrik Lucasz Cardeel kemudian dikenal dengan Pangeran Wiraguna diperbaikilah bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat dengan diberi Bastion, disetiap penjuur mata angin dan dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segala penjuru.
Kekhawatiran ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan. Sementara itu, Sultan Ageng setelah penggulingan kekuasaan tersebut, tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Kaum imperialis ini segera mengirimkan ribuan tentara ke Banten untuk melepaskan Sultan Haji. Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten. Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat
(16)
mendesak mereka ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya      pada            tahun   1692.

2.3 Mataram Menghadapi Belanda
Pendiri dinasti Kerajaam Mataram Islam pertama adalah Sutowijoyo. Karena atas jasanya dalam mengatasi konflik yang terjadi di kerajaan Islam Demak, beliau diberi hadiah tanah di Mataram Yogyakarta oleh Joko Tingkir. Kerajaan Mataram sendiri mencapai puncak kejayaan pada pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokesumo. Sultan Agung (nama yang masyhur) sangat menentang dan memusuhi Kompeni Belanda (VOC). Ia merupakan raja ketiga dari Mataram. Ia memerintah tahun 1613 sampai tahun 1645. Pada waktu itu kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Selanjutnya wilayah tersebut dibagi menjadi beberapa daerah. Urutannya Istana negara berada di Keraton sebagai pusat pemerintahan. Selanjutnya wilayah yang mengintari ibukota disebut Kutanegara, dengan beberapa pimpinan Birokrat. Seperti Senopati, Demang dan sebagainya. Setelah Sultan Agung wafat, tidak ada lagi raja Mataram yang seperti beliau. Bahkan putranya Susuhunan Amangkurat I (1645 sampai 1677) justru bersekutu dengan Kompeni Belanda. Demikian juga putra Amangkurat I yaitu Susuhunan Amangkurat II juga bersekutu dengan Kompeni Belanda. Raden Mas yang menjadi Susuhunan Amangkurat III mencoba untuk melawan Kompeni Belanda, tapi akhirnya ia disingkirkan juga oleh Kompeni Belanda.
Akhirnya kerajaan Mataram diberikan kepada Pangeran Puger (ayah dari pangeran
(17)
Mangkubumi). Pangeran Puger inilah yang bergelar Susuhunan Pakubuwana I. Pakubuwana I (PB I) juga berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Akibat dari kerjasama ini, berangsur-angsur wilayah Mataram semakin menyempit. Sebabnya adalah wilayah tersebut diambil oleh VOC, atas imbalan atas jasa-jasanya yang menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan intern di Mataram. Seperti Pemberontakan Trunojoyo yang berakhir tahun 1678. Akibatnya Mataram harus melepaskan daerah Karawang, Semarang dan sebagian daerah Priangan.
Bantuan pemadaman pemberontakan terhadap Untung Suropati yang berakhir tahun 1705. Mataram juga melepaskan kembali daerah Cirebon, sisa daerah Priangan dan separoh bagian timur Madura kepada VOC Belanda. Selanjutnya Perang China berakhir tahun 1743, juga tidak lepas dari bantuan VOC Belanda. Seluruh daerah pantai utara jawa dan seluruh pulau Madura menjadi milik VOC Belanda.
Wilayah Mataram semakin sempit dengan berakhirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Suarkarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1757 dan 1813 wilayah tersebut pecah lagi dengan munculnya Mangkunegaran dan Pakualaman. Perpecahan Mataram Islam menjadi beberapa wilayah (karisidenan) kecil tidak terlepas dari pengaruh VOC Belanda.
A.Perjanjian  Giyanti
Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk
(18)
membuat Benteng-benteng di Karatasura. Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo (R.M. Said), karena daerah Sukowati yang diberikan pada ayahnya di cabut pada tahun 1742.
Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta Hardiningrat”.
Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram) menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo
          tersebut.
Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu
(19)
dengan bergabung dengan Raden Said yang sudah selama sembilan tahun (1743-1752) melawan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi mengkabarkan ke Keraton bahwa pemberontakan sudah dipadamkan. Alangkah terkejutnya Pangeran Mangkubumi ketika diadakan Paseban Agung (upacara besar) yang dihadiri oleh segenap pembantu PB II dan pejabat Kompeni Belanda. Dalam acara tersebut Kompeni Belanda mengusulkan agar sebidang tanah tersebut diberikan kepada patih mataram bukan penasehat raja (Pangeran Mangkubumi).
Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II, bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram mengalami kekalahan.
Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi). Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I).
Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.
(20)
B.Perjanjian  Salatiga
Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.
Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran
     sebanyak         250            kali.
Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro.


(21)
Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan sedikit wilayah di Yogyakarta).

Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati bahwa, Raden Said (pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi penguasa kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji (alias mandiri) dan tidak menyandang gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai Adipati mijil, kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Kasunanan          surakarta.
C.Pecahnya    Yogyakarta
Ketika Jendral Deandles memerintah di Jawa (1808-1811), ia mengirimkan utusan ke Yogyakarta. Tapi utusan tersebut ditolak oleh Hamengkubuono II (HB II). Karena sejak awal kebijakan Deandles mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Menurut perturan tersebut Residen di kerajaan harus diberi penghormatan dan menempatkan sejajar dengan raja-raja. Berarti raja diturunkan martabatnya, dari raja yang merdeka menjadi raja bawahan.
Di Istana Surakarta usul tersebut di terima, namun tidak begitu di Yogyakarta. HB II menentang peraturan ini. Karena menentang peraturan ini, maka pada tahun 1810, HB II diturunkan jabatannya dan bergelar “Sultan Sepuh”. Tetapi tetap boleh tinggal di Istana. Sebagai gantinya diangkat putra mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (Sultan Rojo; berkuasa tahun 1810-1811). Dalam masa pemerintahan HB III keadaan
(22)
pemerintah semakin mundur dan menguntungkan Belanda. Sultan Sepuh sangat merasakan hal ini, dan ia ingin mengambil tahta kembali tanpa adanya keruntuhan pemerintahan. Peristiwa ini juga memberi kesempatan kepada Deandles untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta untuk menerima peraturan tersebut pada tahun 1811, yang menyebabkan keduanya kehilangan sebagian wilayahnya.
Karena kebijakan Deandles yang terlalu kejam, diantaranya pembangunan jalan dari Panarukan sampai Anyer sepanjang 1000 km dan penyempitan wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagian raja-raja jawa (termasuk sultan sepuh) secara diam-diam menjalin hubungan dengan Inggris yang pada saat itu berada di India untuk berdagang dengan bandar dagang bernama EIC (East Indian Company). Pada waktu yang bersamaan tahun 1810, kekuasaan Louis Napoleon dicabut kembali oleh Napoleon Bonaparte (Prancis). Jadi Belanda di bawah kekuasaan Prancis Karena prancis terlibat konflik dengan Inggris (setelah revolusi Prancis, seluruh Eropa terkena pengaruh Prancis kecuali Inggris), maka Prancis mengirimkan Gubernur Jendral Jansens ke Jawa untuk mempertahankan tanah jawa. Sementara itu Deandles dipanggil ke Belanda pada tahun
    1811.
Karena kekalahan Prancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. Gilirannya Inggris datang ke Hindia Belanda. Dengan ditanda tangani Kapitulasi Tuntang yaitu perjanjian penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya pada tahun 1811 di sebuah desa yang bernama Tuntang, sekarang berada dibawah kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Tempat ini dipilih karena merupakan tempat peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak.
(23)
Waktu itu Belanda sedang diduduki oleh Perancis yang di bawah Jendral Jansens..
Sejak Ingris berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1811,dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral. HB II bisa naik tahta kembali, walaupun hanya satu tahun. Ternyata Inggris tidak jauh beda dengan bangsa Eropa lainnya. Karena kebijakan sistem sewa tanah yang memberatkan rakyat Mataram Khususnya. Pada tahun 1812, HB II mengajak Kasunanan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Melalui Pangeran Notokusumo (saudara HB II) Raffles bisa lebih mengetahui gerak gerik HB II. Setelah mengetahui rencana Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, akhirnya Ingris mengambil jalan kekerasan dengan menyerbu Yogyakarta. Dan menurunkan jabatan HB II. Peristiwa ini berhasil memaksa Sultan dan Sunan untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812. Isinya antara lain, Kedu, sebagian dari Semarang, Rembang dan Surabaya menjadi milik Inggris. Setelah itu HB II atau Sultan Sepuh ditangkap pada tahun 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.
Kemudian Raffles mengangkat Putra Mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (berkuasa untuk kedua kalinya tahun.1810-1814) dan dipaksa untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Notokusumo sebagai tanda jasa Raffles kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1813. Seperti Surakarta, Yogyakarta juga dibagi menjadi dua. Yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan HB III sebagai Raja, dan Pakualaman dengan Pangeran Notokusumo sebagai raja dengan gelar “Kanjeng Gusti Pakualaman I”. karena jasanya, Inggris juga membantu pembangunan Istana dan tiap bulan memberikan bantuan kepada pakualaman.

(24)
D.Perang        Diponegoro
Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814. Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperrbarui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Inggris.
Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa) yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830. Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah. Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo (kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran
(25)
Diponegoro untuk berperang melawan Belanda.
Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya, beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya (bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”. Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.
Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan. Seperti pendapat Pangeran Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro. Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829 merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda.
(26)
Sentot diangkat menjadi Letnan Kolonel dan langsung dibawah pimpinan Jendral De Kock.Setelah kehilangan para pengikutnya, perang gerilya yang dilakukannya selama ini agak menjadi lemah. Hingga pada akhirnya pada bulan februari tahun 1830 terjadi perundiang antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. Dari pihak Belanda diwakili oleh Jendral De Kock. Dalam perundinga tersebut Pangeran diponegoro meminta agar berdirinya negara yang merdeka dibawah pimpinan Sultan dan juga ingin menjadi Amirulmukminin diseluruh tanah jawa. Melihat sikap beliau yang teguh, Belanda tidak   dapat   memenuhi        permintaannya.
Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa. Dalam perang ini belanda banyak sekali mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda juga menghadapi “Perang Paderi” di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di Makasar tanggal 8 Januari 1855.







BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Betapa besar pengorbanan para pahlawan kita yang telah gigih mempertahankan daerahnya dari bangsa penjajah walaupun harus mengorbankan harta maupun nyawa sekalipun. Kemudian yang harus kita garis bawahi adalah betapa sadisnya penjajahan yang terjadi membuat penderitaan yang sangat mendalam bagi bangsa ini. Jadi, kita selaku generasi pada masa sekarang adalah dengan melanjutkan perjuangan bangsa dan memperjuangkan akan dihapuskannya penjajahan dalam bentuk apapun.

3.2 Saran
            Mungkin dalam pembuatan makalah yang kami buat banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis bersedia menerima saran maupun kritik demi perbaikan selanjutnya.








(27)
DAFTAR PUSTAKA


Kartodirdjo, Sartono 1987 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Dari Emporium sampai Imperium, Gramedia, Jakarta.

Tjandrasasmita, Uka (ed.) 1977 Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta

Ricklefs, M.C 2005 Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Salatiga.
Nugroho, Notosusanto.dkk.1993.Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka


Sartono, Kartodirjo. 1998. Dari Imperium sampai Emporium Jilid II. Jakarta: Gramedia


Wayan, Badrika. 1999. Sejarah Nasional dan Umum Jilid 2. Jakarta; Erlangga






Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking