BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Adapun
faktor yang mendorong diadakannya ekspedisi bangsa barat yaitu:
Perubahan ekonomi
dan social di Eropa mendorong bangsa Eropa menyebar ke berbagai belahan dunia
termasuk Indonesia .
a). Perang Salib
Terjadi tahun 1070 karena perebutankota Jerusalem .
Penyebab perang salib:
1) Keinginan bangsa Eropa untuk membantu Spanyol merebut wilayahnya yang jatuh ke tangan Arab.
2) Semangat bangsa Eropa merebutkota Jerusalem atas dorongan
Paus Urbanus II.
3) Keinginan Paus Urbanus II untuk mempersatukan kembali gereja Katolik di bawah Roma.
Perang salib berlangsung dari tahun 1070 – 1291 (221 tahun).
b). Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ditemukannya kompas sebagai alat petunjuk arah, ditemukan teori bahwa bumi itu bulat, dan peredaran tata surya berpusat pada matahari.
c). Penjelajahan Samudra
Tujuan penjelejahan samudra:
1) Adanya keinginan untuk memiliki kekayaan (gold)
a). Perang Salib
Terjadi tahun 1070 karena perebutan
Penyebab perang salib:
1) Keinginan bangsa Eropa untuk membantu Spanyol merebut wilayahnya yang jatuh ke tangan Arab.
2) Semangat bangsa Eropa merebut
3) Keinginan Paus Urbanus II untuk mempersatukan kembali gereja Katolik di bawah Roma.
Perang salib berlangsung dari tahun 1070 – 1291 (221 tahun).
b). Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ditemukannya kompas sebagai alat petunjuk arah, ditemukan teori bahwa bumi itu bulat, dan peredaran tata surya berpusat pada matahari.
c). Penjelajahan Samudra
Tujuan penjelejahan samudra:
1) Adanya keinginan untuk memiliki kekayaan (gold)
(1)
(2)
2) Adanya
keinginan mencari kekuasaan dan kejayaan (gospel)
3) Penyebaran agama Nasrani (glory)
3) Penyebaran agama Nasrani (glory)
Mahal dan langkanya rempah-rempah di dunia
barat, menyebabkan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari cara lain demi mendapatkan
rempah-rempah sebanyak mungkin. Jalan yang ditempuh bangsa Eropa untuk
mendapatkan rempah-rempah adalah dengan mencari daerah yang di wilayah tersebut
terdapat rempah-rempah yang berlimpah ruah termasuk Indonesia sendiri.
Maka di mulailah Ekspedisi bangsa barat yang dipelopori oleh
bangsa Portugis dan Spanyol yang kemudian jejak kedua negara ini di ikuti oleh
bangsa lain termasuk bangsa Belanda. Dari faktor dan tujuan bangsa barat
melakukan ekspedisi, Indonesia menjadi daerah dan wilayah yang sesuai dengan
kriteria dilakukannya ekspedisi tersebut termasuk daerah Banten dan Mataram
yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.
1.2
Rumusan Masalah
1. Kapan bangsa Belanda pertama kali datang
ke daerah Banten? Serta bagaimana sikap masyarakat Banten untuk pertama kalinya
atas kedatangan Bangsa Belanda?
2. Apa yang menyebabkan bangsa Belanda datang
ke daerah Banten?
3. Mengapa
tentara Mataram menyerang kantor dagang VOC pada tanggal 18 Agustus 1618?
(3)
1.3
Tujuan
1. Mengetahui datangnya bangsa Belanda di
Banten serta sikap yang diberikan masyarakat pribumi untuk pertama kalinya.
2. Mengetahui tujuan bangsa Belanda datang ke
daerah Banten.
3. Mengetahui sebab dari penyerangan tentara
Mataram terhadap kantor dagang VOC.
1.4
Manfaat
1. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan
atas penjajahan dan perjuangan bangsa Indonesia.
2. Sebagai motivasi untuk melanjutkan
perjuangan bangsa di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk yang berbeda.
3. Sebagai suatu pengalaman bangsa yang
jangan sampai terjadi kembali penjajahan di masa sekarang dan selanjutnya.
1.5
Metode
Adapun metode yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan kolonialisme yang terjadi
di Banten dan Mataram, kemudian mencari informasi dari media cetak maupun media
elektronik, semisal koran, televisi, internet dll.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedatangan Bangsa Belanda
di Banten
Berbeda
dari abad sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki tidak lagi
menguasai sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai
negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah di Eropa.Pedagang-pedagang Inggris, Belanda dan
sebagainya membeli rempah-rempah dari Lisabon. Apalagi daerah-daerah penghasil
rempah-rempah itu hanya diketahui Portugis.
Pengangkutan
rempah-rempah dari Lisabon mendatang-kan keuntungan banyak bagi
pedagang-pedagang Belanda; yaitu menyalurkannya kembali ke Jerman dan
negara-negara lain di Eropa Timur. Tetapi karena pecahnya perang antara
Nederland dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan “Perang
Delapan Puluh Tahun” mengakibatkan perdagangan Belanda di Eropa Selatan
menjadi tidak lancar, lebih-lebih sesudah Spanyol berhasil menduduki Portugal
pada tahun 1580.
Raja
Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui bahwa kemakmuran
Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal, memukul
Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi bandar-bandar
di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan rempah-rempah Belanda
terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga rempah-rempah di Eropa menjadi
tinggi, karena persediaan berkurang.
(4)
(5)
Situasi
perang antara Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda
mengalami kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya
oleh pelaut Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol. Hal-hal semacam
inilah yang mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung
berhubungan dengan negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa
diketahui patroli Spanyol. Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia
itu dilaksanakan melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli
ilmu bumi seperti Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di
Nederland Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai
pandangan-pandangannya. Ketika itu (1593) terbitlah sebuah buku Itineratio dalam
bahasa Belanda karya Jan Huygen van Linschoten yang menceritakan tentang benua
Asia dan mengenai Hindia (Indonesia), lengkap dengan adat istiadat, agama,
barang dagangan yang disenangi penduduk, dan sebagainya mengenai daerah Asia
itu. Pengarang buku ini pernah ikut dalam expedisi Portugis ke Asia dan pernah
tinggal beberapa lama di Goa, India.
Untuk
menghindari pengejaran tentara Portugis, beberapa pedagang Belanda, dibantu
oleh pemerintah, dengan kapal yang dirancang khusus mencoba mengarungi Laut Es,
sebelah utara benua Eropa dengan perhitungan akan memperoleh jalan tersingkat
menuju Asia, tanpa melalui Tanjung Harapan. Tiga kali percobaan ekspedisi ini
dilaksanakan, namun ketiga-tiganya mengalami kegagalan. Kapal mereka terjepit di
tengah-tengah lautan es di dekat pulau Nova Zembla, sehingga separoh anak buah
kapalnya meninggal karena kedinginan.
(6)
Laksamana
Jacob vanHeemskerck yang memimpin pelayaran itu kembali ke Amsterdam dengan
susah payah menghabarkan kegagalan ekspedisinya.Akhirnya pedagang-pedagang
Amsterdam memper-siapkan empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia
melalui Tanjung Harapan. Pada tangga 2 April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak
dari pangkalan Tessel, Belanda Utara, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan
Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan perdagangan, dan Pieter
de Keyser mengepalai urusan navigasi. Karena adanya dua pimpinan dalam satu ekspedisi
pertama ini, maka sering terjadi keributan yang berasal dari perbedaan pendapat
di antara keduanya. Hal demikian akhirnya menimbulkan perkelahian di antara
anak buah kapal, sehingga sebuah kapal hancur dan sebagian penumpangnya tewas.
Namun demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan hasil, yakni dengan
keberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596.
Kedatangan
kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan seperti
biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi yang naik ke
kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal ini disalah
artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh. Walau pun
demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan lada yang
memang mereka butuhkan. Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang
bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten
minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan
sewa yang memadai.
(7)
Permintaan itu
ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan setelah
selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang datang.
Tapi
sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap belum pergi,
karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu panen lada harga akan
jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi Jayanegara marah. Lebih parah lagi,
orang-orang Belanda itu pada suatu malam, menyeret dua buah kapal dari Jawa
yang penuh dengan lada ke kapalnya dan memindahkan semua isinya. Dan dengan
membawa muatan hasil rampokan itu mereka pergi sambil menembaki kota Banten. Melihat kelakuan
orang Belanda ini, rakyat Banten — yang baru saja kehilangan sultannya
— sangat marah. Beberapa tentara Banten menyerbu ke kapal Belanda dan menangkap
Houtman beserta delapan anak kapal. Dengan tebusan 45.000 gulden sebagai ganti
kerugian, barulah de Houtman dilepaskan dan diusir dari Banten (2 Oktober
1596).
Pada
tanggal 1 Mei 1598 rombongan baru pedagang Belanda berangkat dari Nederland
menuju Indonesia dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh Jacob van Neck
dibantu oleh van Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28 Nopember 1598
rombongan kedua ini tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh rakyat Banten
karena tingkah lakunya berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman pertama yang
merugikan itu rupanya dijadikan pelajaran.
(8)
Mereka
pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila berhadapan dengan Mangkubumi,
bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun dikabulkan. Dengan membawa hadiah
sebuah piala berkaki emas sebagai tanda persahabatan, van Neck menghadap kepada
Sultan Abdul Mafakhir. Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk membantu tentara Banten
dalam penyerangan ke Palembang — sebagai pembalasan atas kematian Sultan
Muhammad — dengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh. Semula van Neck menyetujui
usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta dibayar di muka satu kapal dan
sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi menghendaki pembayaran sekaligus
setelah penyerangan selesai, maka penyerangan ke Palembang tidak diteruskan. Van Neck kembali ke
Belanda dengan tiga kapal yang penuh muatan, sedangkan van Waerwijk dan van
Heemskerck melanjutkan perjalanannya ke Maluku dengan lima buah kapal.
Dengan
keberhasilan dua ekspedisi dagang ke Indonesia ini akhirnya berduyun-duyunlah
orang-orang Belanda untuk berdagang. Tercatat pada tahun 1598 saja ada 22 kapal
milik perorangan dan perikatan dagang dari Nederland menuju Indonesia. Bahkan
tahun 1602 ada 65 kapal yang kembali dari kepulauan Indonesia dengan muatan
penuh. Suatu
hari datanglah utusan khusus pemerintah Portugis dari Malaka dengan membawa
hadiah uang 10.000 rial dan berbagai perhiasan yang bagus dan mahal. Mereka
minta supaya Banten memutuskan hubungan dagang dengan Belanda dan apabila
orang-orang Belanda itu datang supaya kapal-kapalnya dirusak atau diusir.
Dikatakan pula, bahwa nanti akan datang armada Portugis yang akan mengadakan
pembersihan terhadap kapal Belanda di perairan Banten dan negeri timur lainnya.
(9)
Mangkubumi
Jayanagara menerima semua hadiah tersebut, tapi, secara rahasia, diutusnya
kurir untuk menyam-paikan berita itu kepada pedagang Belanda, supaya mereka
segera meninggalkan Banten karena armada Portugis akan menyergap mereka.
Mendengar berita itu, kapal dagang Belanda pun segera meninggalkan Banten. Tidak lama kemudian
pada tahun 1598 sampailah angkatan laut Portugis dipimpim oleh Laurenco de
Brito dari pangkalannya di Goa. Setelah dilihatnya tidak ada satu pun kapal
Belanda yang berlabuh di Banten, marahlah mereka. Mangkubumi dituduh telah
berhianat dan bersekongkol dengan Belanda karena membocorkan rahasia, dan
menuntut supaya Mangkubumi mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan.
Sudah tentu Mangkubumi tidak mau menuruti kemauan mereka, karena Portugis tidak
ada hak dan wewenang untuk mengusir kapal-kapal asing yang sedang berlabuh di
Banten. Dengan
kemarahan yang amat sangat, diserangnya pelabuhan Banten, barang-barang yang
ada di sana dirampas dan diangkut ke kapalnya, bahkan lada kepunyaan pedagang
dari Cina pun dirampasnya pula.
Melihat
kejadian itu, tentara Banten, yang memang sudah dipersiapkan, menyerang
kapal-kapal Portugis itu, sehingga tiga buah kapal Portugis dapat dirampas dan
seorang laksamananya tewas; sedangkan yang lainnya melarikan diri, setelah
meninggalkan barang hasil rampasannya. Karena persaingan ketat antar sesama pedagang Belanda
yang berlomba-lomba untuk mendapat rempah-rempah dari negeri timur, maka
keuntungan mereka pun sedikit, dan bahkan rugi — dari data-data yang
dikumpulkan, ternyata kerugiannya mencapai 5 laksa gulden. Melihat kenyataan ini
maka pada tahun 1602 dibentuknya persatuan dagang yang kemudian diberi nama “Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) dengan modal pertama 6,5 juta
(10)
gulden dan
berkedudukan di Amsterdam; dan tujuannya adalah mencari laba
sebanyak-banyaknya, di samping untuk memperkuat kedudukan Belanda melawan
kekuasaan Portugis dan Spanyol.
Berdirinya
VOC ini dibantu oleh pemerintah kerajaan Belanda, sehingga VOC diberi hak-hak
sebagai berikut :
- 1) Hak monopoli untuk berdagang di wilayah antara Amerika dan Afrika.
- 2) Dapat membentuk angkatan perang sendiri, mengadakan peperangan, mendirikan benteng dan bahkan menjajah.
- 3) Berhak untuk mengangkat pegawai sendiri.
- 4) Berhak untuk membuat peradilan sendiri (justisi).
- 5) Berhak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
Sebaliknya
VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah kerajaan
Belanda, yaitu :
- 1) Bertanggung jawab kepada Staten General (Dewan Perwakilan Rakyat Belanda).
- 2) Pada waktu perang harus membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang.
Pembentukan
VOC di samping untuk menyatukan langkah dalam perdagangan dan modal, juga
didorong dengan adanya saingan baru yang dianggapnya berat, yaitu
pedagang-pedagang Inggris yang telah membentuk satu kongsi dagang yang bernama
EIC (East India Compagnie) pada tahun 1600. Untuk memudahkan gerak dan
siasat
(11)
dagangnya, VOC
membuka kantor-kantor cabang di Middelberg, Delft, Rotterdam, Hoorn dan
Enkhuizen. Setelah dirasa kedudukan VOC sudah mapan, maka pada tahun 1610
dibuka pula kantor dagang untuk Hindia Timur atau Kepulauan Nusantara, dengan
Pieter Both menjadi Gubernur Jendral yang dibantu Dewan Penasehat (Raad van
Indie) yang anggotanya terdiri dari 5 orang. Dicarinya daerah-daerah
strategis untuk dijadikan pusat kegiatan di Hindia Timur ini. Alternatif
pertama dipilihnya Johor, tetapi karena Johor terlalu dekat dengan Malaka yang
duduki Portugis, maka dipilihnya alternatif kedua yakni Banten. Walaupun di
Banten telah berdiri perwakilan dagang VOC sejak tahun 1603 — yang diketuai
oleh Francois Wittert — tapi karena di Banten pun Mangkubumi Arya
Ranamanggala selalu bertindak tegas dalam menghadapi orang-orang asing, pilihan
ini dibatalkan. Akhirnya VOC menetapkan Jayakarta sebagai pusat kegiatannya,
karena walau pun Jayakarta di bawah kuasa Banten, namun penguasa di sana tidak
begitu kuat. Maka pada tahun 1610 berangkatlah Pieter Both dari Amsterdam menuju
Jayakarta bersama dengan 8 buah kapal besar. Pada bulan Nopember 1611 VOC
berhasil mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Untuk mengontrol tindakan VOC,
Pangeran Jayakarta membolehkan perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam
East India Company (EIC) membuat kantor dagangnya di Jayakarta, berhadapan
dengan kantor dagang VOC.
(12)
2.2 Kesultanan Banten Pada
Masa Sultan Ageng Tirtayasa Dalam Menghadapi Belanda
Penobatan
Pangeran Surya terjadi pada tanggal 10 Maret 1651, seperti tanggal surat
ucapan selamat Gubernur Kompeni Belanda Kepada Sultan. Untuk memperlancar roda
pemerintahan, sultan mengangkat beberapa orang untuk membantu dirinya. Jabatan
Patih Mangkubumi diserahkan kepada Pangeran Mandura dengan wakilnya Tubagus
Wiraatmaja, Sebagai Kadhi atau Hakim Agung Negara diserahkan kepada Pangeran
JayaSentika. Tapi Pangeran Jayasentika tidak lama menjabat sebagai kadhi, beliau
wafat dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan
kepada Entol Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmudin. Faqih
Najmudin adalah menantu dari Sultan Abul Mafakhir yang menikah dengan Ratu Lor.
Untuk mempermudah pengawasan daerah kekuasaan, Sultan mengangkat beberapa
Ponggawa atau Nayaka. Mereka berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab
Mangkubumi. Selain itu Mangkubumi juga mengawasi keadaan para prajurit
kerajaan. Senjata-senjata di tambah. Rumah para Senoptai diatur sedemikian
rupa, agar mudah mengontrol para prajurit.Pangeran Surya yang kemudian bergelar
Pangeran Ratu Ing Banten adalah seorang ahli strategi perang. Hal ini sudah
dibuktikannya sejak beliau menjadi putera mahkota. beliau lah yang mengatur
strategi perang gerilya saat menyerbu belanda di Batavia.
Seperti
juga kakeknya, Pangeran Surya pun tidak melepaskan dari Kekhalifahan Islam di
Makkah. hubungan ini keharusan untuk memperkuat kekuatan umat Islam dalam
menentang segala macam kesewenangan. Dari dari Kekhalifahan pulalah Pangeran
mendapatkan gelar Sultan 'Abulfath Abdulfattah. Dari hubungan ini
(13)
Sultan
mengharapkan bantuan dari Khalifah untuk mengirimkan guru agama ke Banten. Selain itu Sultan
pun tidak setuju dengan pendudukan bangsa Asing atas negaranya, dan untuk
memperkuat pertahanan (terutama dari serbuan Belanda di Batavia), sultan
memperkuat pasukanya di Tangerang yang telah menjadi benteng pertahanan
terdepan dalam menghadapi serangan Belanda. Dari tangerang ini pulalah pada
tahun 1652 Banten menyerbu Batavia. Melihat situasi yang semakin memanas, pihak
kompeni mengajukan usul perdamaian. Namun sultan bertekad untuk menghapuskan
para penjajah di bumi Nusantara, sultan melihat berbagai kecurangan pada setiap
perjanjian yang diajukan oleh pihak Belanda, sehingga Sultan pun menolaknya.
Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang melakukan
gerilya besar-besaran. Perusakan dan sabotase yang dilakukan para prajurit
Banten banyak merugikan pihak Kompeni. Untuk menghadapi serangan Belanda yang
lebih besar, Sultan mempernaiki hubungan dengan Cirebon dana Mataram, bahkan
dari Inggris, Prancis dan Denmark, Sultan mendapat kemudahan memperoleh senjata
api untuk peperangan. Daerah kekuasaan Banten (Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri
dan daerah lainnya) diminta mengirimkan prajuritnya untuk bergabung dengan para
prajurit yang berada di Surosowan. Rakyatpun mendukung langkah Sultan untuk
mengusir Penjajah. Mereka bertekad lebih baik mati daripada berdamai dnegan
penjajah. Sedangkan kompeni mempekuat pasukkannya dengan prajurit-prajurit
sewaan yang berasal dari Kalasi, ternate, Bandan, kejawan, Melayu, Bali,
Makasar dan Bugis.
(14)
Pada
tanggal 29 April 1658 datang utusan Belanda ke Banten membawa surat dari
Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rancangan perjanjian perdamaian, namun
Sultan kembali melihat kecurangan dibalik naskah perjanjian tersebut, pihak
kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan
rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658 Sultan mengirimkan utusan
ke Batavia untuk melakukan perubahan perjanjian. Namun perubahan dari Sultan di
tiolak oleh Belanda. Kompeni hanya menginginkan Banten membeli rempah-rempah
dari Belanda dan itupun harus ditambah pajak. Penolakan tersebut membuat Sultan
sadar, bahwa tidaklah mungkin ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang
saling berbeda kepentingan. Maka pada tanggal 11 Mei 1658 Sultan mengirim surat
balasan yang menyatakan bahwa "BANTEN dan KOMPENI TIDAK AKAN MUNGKIN BISA
BERDAMAI .Maka terjadilah pertempuran hebat di darat dan di laut. Pertempuran
ini berlangsung tanpa henti sejak bulan Juli 1658 hingga tanggal 10 juli 1659.
Selain
di Tangerang, Sultan juga membuat kampung para prajurit di Tirtayasa, bahkan
akhirnya sultan pun menyuruh mendirikan istana di kampung tersebut. Yang
nantinya digunakan sebagai pusat kontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia
disamping untuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Tirtayasa dijadikan
penghubung antara Istana di Surosowan dengan Benteng pertahanan di Tangerang.
Hal ini akan mempersingat jalur komunikasi sultan. Disamping jalan darat yang
sudah ada, juga dibuat jalan laut yang menghubungkan
Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus dari
Pontang-Tanara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat - melalaui sungai
CIkande sampai pantai Pasiliyan. Saluran ini dibuat
(15)
cukup besar,
hingga mampu dilewati kapal perang ukuran sedang. Saluran ini dibuat dari tahun
1660 hingga sekitar tahun 1678. Selain di Tirtayasa Sultan pun berusaha
menyempurnakan dan memperbaiki keadaan didalam ibukota kerajaan. Dengan bantuan
beberapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah masuk Islam,
diantaranya adalah Hendrik Lucasz Cardeel kemudian dikenal dengan Pangeran
Wiraguna diperbaikilah bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat
dengan diberi Bastion, disetiap penjuur mata angin dan dilengkapi dengan 66
buah meriam yang diarahkan ke segala penjuru.
Kekhawatiran
ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang
intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan Ageng
Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan. Sementara
itu, Sultan Ageng setelah penggulingan kekuasaan tersebut, tidak lantas berdiam
diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji
di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta
bantuan Belanda. Kaum imperialis ini segera mengirimkan ribuan tentara ke
Banten untuk melepaskan Sultan Haji. Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin,
Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski
menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng
tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi
benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya.
Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak
otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten. Sultan Ageng masih
mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat
(16)
mendesak mereka ke
wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa
tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya
dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692.
2.3 Mataram
Menghadapi Belanda
Pendiri
dinasti Kerajaam Mataram Islam pertama adalah Sutowijoyo. Karena atas jasanya
dalam mengatasi konflik yang terjadi di kerajaan Islam Demak, beliau diberi
hadiah tanah di Mataram Yogyakarta oleh Joko Tingkir. Kerajaan Mataram sendiri
mencapai puncak kejayaan pada pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokesumo. Sultan
Agung (nama yang masyhur) sangat menentang dan memusuhi Kompeni Belanda (VOC).
Ia merupakan raja ketiga dari Mataram. Ia memerintah tahun 1613 sampai tahun
1645. Pada waktu itu kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian
Jawa Barat. Selanjutnya wilayah tersebut dibagi menjadi beberapa daerah.
Urutannya Istana negara berada di Keraton sebagai pusat pemerintahan.
Selanjutnya wilayah yang mengintari ibukota disebut Kutanegara, dengan beberapa
pimpinan Birokrat. Seperti Senopati, Demang dan sebagainya. Setelah Sultan Agung
wafat, tidak ada lagi raja Mataram yang seperti beliau. Bahkan putranya
Susuhunan Amangkurat I (1645 sampai 1677) justru bersekutu dengan Kompeni
Belanda. Demikian juga putra Amangkurat I yaitu Susuhunan Amangkurat II juga
bersekutu dengan Kompeni Belanda. Raden Mas yang menjadi Susuhunan Amangkurat
III mencoba untuk melawan Kompeni Belanda, tapi akhirnya ia disingkirkan juga
oleh Kompeni Belanda.
Akhirnya kerajaan Mataram diberikan kepada Pangeran Puger (ayah dari pangeran
Akhirnya kerajaan Mataram diberikan kepada Pangeran Puger (ayah dari pangeran
(17)
Mangkubumi).
Pangeran Puger inilah yang bergelar Susuhunan Pakubuwana I. Pakubuwana I (PB I)
juga berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Akibat dari kerjasama ini,
berangsur-angsur wilayah Mataram semakin menyempit. Sebabnya adalah wilayah
tersebut diambil oleh VOC, atas imbalan atas jasa-jasanya yang menyelesaikan
pemberontakan-pemberontakan intern di Mataram. Seperti Pemberontakan Trunojoyo
yang berakhir tahun 1678. Akibatnya Mataram harus melepaskan daerah Karawang,
Semarang dan sebagian daerah Priangan.
Bantuan pemadaman pemberontakan terhadap Untung Suropati yang berakhir tahun 1705. Mataram juga melepaskan kembali daerah Cirebon, sisa daerah Priangan dan separoh bagian timur Madura kepada VOC Belanda. Selanjutnya Perang China berakhir tahun 1743, juga tidak lepas dari bantuan VOC Belanda. Seluruh daerah pantai utara jawa dan seluruh pulau Madura menjadi milik VOC Belanda.
Wilayah Mataram semakin sempit dengan berakhirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Suarkarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1757 dan 1813 wilayah tersebut pecah lagi dengan munculnya Mangkunegaran dan Pakualaman. Perpecahan Mataram Islam menjadi beberapa wilayah (karisidenan) kecil tidak terlepas dari pengaruh VOC Belanda.
Bantuan pemadaman pemberontakan terhadap Untung Suropati yang berakhir tahun 1705. Mataram juga melepaskan kembali daerah Cirebon, sisa daerah Priangan dan separoh bagian timur Madura kepada VOC Belanda. Selanjutnya Perang China berakhir tahun 1743, juga tidak lepas dari bantuan VOC Belanda. Seluruh daerah pantai utara jawa dan seluruh pulau Madura menjadi milik VOC Belanda.
Wilayah Mataram semakin sempit dengan berakhirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Suarkarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1757 dan 1813 wilayah tersebut pecah lagi dengan munculnya Mangkunegaran dan Pakualaman. Perpecahan Mataram Islam menjadi beberapa wilayah (karisidenan) kecil tidak terlepas dari pengaruh VOC Belanda.
A.Perjanjian Giyanti
Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk
Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk
(18)
membuat
Benteng-benteng di Karatasura. Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh
Pangeran Sambernyowo (R.M. Said), karena daerah Sukowati yang diberikan pada
ayahnya di cabut pada tahun 1742.
Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta Hardiningrat”.
Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram) menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut.
Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu
Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta Hardiningrat”.
Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram) menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut.
Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu
(19)
dengan bergabung
dengan Raden Said yang sudah selama sembilan tahun (1743-1752) melawan Kompeni
Belanda. Pangeran Mangkubumi mengkabarkan ke Keraton bahwa pemberontakan sudah
dipadamkan. Alangkah terkejutnya Pangeran Mangkubumi ketika diadakan Paseban
Agung (upacara besar) yang dihadiri oleh segenap pembantu PB II dan pejabat
Kompeni Belanda. Dalam acara tersebut Kompeni Belanda mengusulkan agar sebidang
tanah tersebut diberikan kepada patih mataram bukan penasehat raja (Pangeran
Mangkubumi).
Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II, bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram mengalami kekalahan.
Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi). Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I).
Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.
Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II, bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram mengalami kekalahan.
Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi). Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I).
Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.
(20)
B.Perjanjian Salatiga
Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.
Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro.
Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.
Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro.
(21)
Perjanjian ini
memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup
daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan
sedikit wilayah di Yogyakarta).
Dalam perjanjian
yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku
Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati bahwa, Raden
Said (pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi
penguasa kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji
(alias mandiri) dan tidak menyandang gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai
Adipati mijil, kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan
Kasunanan surakarta.
C.Pecahnya Yogyakarta
Ketika Jendral Deandles memerintah di Jawa (1808-1811), ia mengirimkan utusan ke Yogyakarta. Tapi utusan tersebut ditolak oleh Hamengkubuono II (HB II). Karena sejak awal kebijakan Deandles mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Menurut perturan tersebut Residen di kerajaan harus diberi penghormatan dan menempatkan sejajar dengan raja-raja. Berarti raja diturunkan martabatnya, dari raja yang merdeka menjadi raja bawahan.
Di Istana Surakarta usul tersebut di terima, namun tidak begitu di Yogyakarta. HB II menentang peraturan ini. Karena menentang peraturan ini, maka pada tahun 1810, HB II diturunkan jabatannya dan bergelar “Sultan Sepuh”. Tetapi tetap boleh tinggal di Istana. Sebagai gantinya diangkat putra mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (Sultan Rojo; berkuasa tahun 1810-1811). Dalam masa pemerintahan HB III keadaan
C.Pecahnya Yogyakarta
Ketika Jendral Deandles memerintah di Jawa (1808-1811), ia mengirimkan utusan ke Yogyakarta. Tapi utusan tersebut ditolak oleh Hamengkubuono II (HB II). Karena sejak awal kebijakan Deandles mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Menurut perturan tersebut Residen di kerajaan harus diberi penghormatan dan menempatkan sejajar dengan raja-raja. Berarti raja diturunkan martabatnya, dari raja yang merdeka menjadi raja bawahan.
Di Istana Surakarta usul tersebut di terima, namun tidak begitu di Yogyakarta. HB II menentang peraturan ini. Karena menentang peraturan ini, maka pada tahun 1810, HB II diturunkan jabatannya dan bergelar “Sultan Sepuh”. Tetapi tetap boleh tinggal di Istana. Sebagai gantinya diangkat putra mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (Sultan Rojo; berkuasa tahun 1810-1811). Dalam masa pemerintahan HB III keadaan
(22)
pemerintah semakin
mundur dan menguntungkan Belanda. Sultan Sepuh sangat merasakan hal ini, dan ia
ingin mengambil tahta kembali tanpa adanya keruntuhan pemerintahan. Peristiwa
ini juga memberi kesempatan kepada Deandles untuk memaksa Yogyakarta dan
Surakarta untuk menerima peraturan tersebut pada tahun 1811, yang menyebabkan
keduanya kehilangan sebagian wilayahnya.
Karena kebijakan Deandles yang terlalu kejam, diantaranya pembangunan jalan dari Panarukan sampai Anyer sepanjang 1000 km dan penyempitan wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagian raja-raja jawa (termasuk sultan sepuh) secara diam-diam menjalin hubungan dengan Inggris yang pada saat itu berada di India untuk berdagang dengan bandar dagang bernama EIC (East Indian Company). Pada waktu yang bersamaan tahun 1810, kekuasaan Louis Napoleon dicabut kembali oleh Napoleon Bonaparte (Prancis). Jadi Belanda di bawah kekuasaan Prancis Karena prancis terlibat konflik dengan Inggris (setelah revolusi Prancis, seluruh Eropa terkena pengaruh Prancis kecuali Inggris), maka Prancis mengirimkan Gubernur Jendral Jansens ke Jawa untuk mempertahankan tanah jawa. Sementara itu Deandles dipanggil ke Belanda pada tahun 1811.
Karena kekalahan Prancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. Gilirannya Inggris datang ke Hindia Belanda. Dengan ditanda tangani Kapitulasi Tuntang yaitu perjanjian penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya pada tahun 1811 di sebuah desa yang bernama Tuntang, sekarang berada dibawah kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Tempat ini dipilih karena merupakan tempat peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak.
Karena kebijakan Deandles yang terlalu kejam, diantaranya pembangunan jalan dari Panarukan sampai Anyer sepanjang 1000 km dan penyempitan wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagian raja-raja jawa (termasuk sultan sepuh) secara diam-diam menjalin hubungan dengan Inggris yang pada saat itu berada di India untuk berdagang dengan bandar dagang bernama EIC (East Indian Company). Pada waktu yang bersamaan tahun 1810, kekuasaan Louis Napoleon dicabut kembali oleh Napoleon Bonaparte (Prancis). Jadi Belanda di bawah kekuasaan Prancis Karena prancis terlibat konflik dengan Inggris (setelah revolusi Prancis, seluruh Eropa terkena pengaruh Prancis kecuali Inggris), maka Prancis mengirimkan Gubernur Jendral Jansens ke Jawa untuk mempertahankan tanah jawa. Sementara itu Deandles dipanggil ke Belanda pada tahun 1811.
Karena kekalahan Prancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. Gilirannya Inggris datang ke Hindia Belanda. Dengan ditanda tangani Kapitulasi Tuntang yaitu perjanjian penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya pada tahun 1811 di sebuah desa yang bernama Tuntang, sekarang berada dibawah kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Tempat ini dipilih karena merupakan tempat peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak.
(23)
Waktu itu Belanda
sedang diduduki oleh Perancis yang di bawah Jendral Jansens..
Sejak Ingris berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1811,dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral. HB II bisa naik tahta kembali, walaupun hanya satu tahun. Ternyata Inggris tidak jauh beda dengan bangsa Eropa lainnya. Karena kebijakan sistem sewa tanah yang memberatkan rakyat Mataram Khususnya. Pada tahun 1812, HB II mengajak Kasunanan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Melalui Pangeran Notokusumo (saudara HB II) Raffles bisa lebih mengetahui gerak gerik HB II. Setelah mengetahui rencana Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, akhirnya Ingris mengambil jalan kekerasan dengan menyerbu Yogyakarta. Dan menurunkan jabatan HB II. Peristiwa ini berhasil memaksa Sultan dan Sunan untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812. Isinya antara lain, Kedu, sebagian dari Semarang, Rembang dan Surabaya menjadi milik Inggris. Setelah itu HB II atau Sultan Sepuh ditangkap pada tahun 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.
Kemudian Raffles mengangkat Putra Mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (berkuasa untuk kedua kalinya tahun.1810-1814) dan dipaksa untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Notokusumo sebagai tanda jasa Raffles kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1813. Seperti Surakarta, Yogyakarta juga dibagi menjadi dua. Yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan HB III sebagai Raja, dan Pakualaman dengan Pangeran Notokusumo sebagai raja dengan gelar “Kanjeng Gusti Pakualaman I”. karena jasanya, Inggris juga membantu pembangunan Istana dan tiap bulan memberikan bantuan kepada pakualaman.
Sejak Ingris berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1811,dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral. HB II bisa naik tahta kembali, walaupun hanya satu tahun. Ternyata Inggris tidak jauh beda dengan bangsa Eropa lainnya. Karena kebijakan sistem sewa tanah yang memberatkan rakyat Mataram Khususnya. Pada tahun 1812, HB II mengajak Kasunanan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Melalui Pangeran Notokusumo (saudara HB II) Raffles bisa lebih mengetahui gerak gerik HB II. Setelah mengetahui rencana Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, akhirnya Ingris mengambil jalan kekerasan dengan menyerbu Yogyakarta. Dan menurunkan jabatan HB II. Peristiwa ini berhasil memaksa Sultan dan Sunan untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812. Isinya antara lain, Kedu, sebagian dari Semarang, Rembang dan Surabaya menjadi milik Inggris. Setelah itu HB II atau Sultan Sepuh ditangkap pada tahun 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.
Kemudian Raffles mengangkat Putra Mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (berkuasa untuk kedua kalinya tahun.1810-1814) dan dipaksa untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Notokusumo sebagai tanda jasa Raffles kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1813. Seperti Surakarta, Yogyakarta juga dibagi menjadi dua. Yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan HB III sebagai Raja, dan Pakualaman dengan Pangeran Notokusumo sebagai raja dengan gelar “Kanjeng Gusti Pakualaman I”. karena jasanya, Inggris juga membantu pembangunan Istana dan tiap bulan memberikan bantuan kepada pakualaman.
(24)
D.Perang Diponegoro
Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814. Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperrbarui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Inggris.
Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa) yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830. Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah. Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo (kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran
Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814. Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperrbarui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Inggris.
Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa) yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830. Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.
Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah. Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo (kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran
(25)
Diponegoro untuk
berperang melawan Belanda.
Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya, beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya (bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”. Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.
Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan. Seperti pendapat Pangeran Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro. Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829 merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda.
Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya, beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya (bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”. Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.
Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan. Seperti pendapat Pangeran Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro. Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829 merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda.
(26)
Sentot diangkat
menjadi Letnan Kolonel dan langsung dibawah pimpinan Jendral De Kock.Setelah
kehilangan para pengikutnya, perang gerilya yang dilakukannya selama ini agak
menjadi lemah. Hingga pada akhirnya pada bulan februari tahun 1830 terjadi
perundiang antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. Dari pihak Belanda diwakili
oleh Jendral De Kock. Dalam perundinga tersebut Pangeran diponegoro meminta
agar berdirinya negara yang merdeka dibawah pimpinan Sultan dan juga ingin
menjadi Amirulmukminin diseluruh tanah jawa. Melihat sikap beliau yang teguh,
Belanda tidak dapat memenuhi permintaannya.
Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa. Dalam perang ini belanda banyak sekali mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda juga menghadapi “Perang Paderi” di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di Makasar tanggal 8 Januari 1855.
Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa. Dalam perang ini belanda banyak sekali mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda juga menghadapi “Perang Paderi” di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di Makasar tanggal 8 Januari 1855.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Betapa
besar pengorbanan para pahlawan kita yang telah gigih mempertahankan daerahnya
dari bangsa penjajah walaupun harus mengorbankan harta maupun nyawa sekalipun.
Kemudian yang harus kita garis bawahi adalah betapa sadisnya penjajahan yang
terjadi membuat penderitaan yang sangat mendalam bagi bangsa ini. Jadi, kita
selaku generasi pada masa sekarang adalah dengan melanjutkan perjuangan bangsa
dan memperjuangkan akan dihapuskannya penjajahan dalam bentuk apapun.
3.2 Saran
Mungkin
dalam pembuatan makalah yang kami buat banyak kekurangan dan kesalahan, maka
dari itu penulis bersedia menerima saran maupun kritik demi perbaikan
selanjutnya.
(27)
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono 1987
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Dari Emporium sampai Imperium, Gramedia, Jakarta .
Tjandrasasmita, Uka (ed.) 1977 Sejarah NasionalIndonesia
II, Balai Pustaka, Jakarta
Ricklefs, M.C 2005 SejarahIndonesia
Modern, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta .
Http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Salatiga.
Tjandrasasmita, Uka (ed.) 1977 Sejarah Nasional
Ricklefs, M.C 2005 Sejarah
Nugroho, Notosusanto.dkk.1993.Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka
Sartono, Kartodirjo. 1998. Dari Imperium sampai Emporium Jilid II. Jakarta: Gramedia
Wayan, Badrika. 1999. Sejarah Nasional dan Umum Jilid 2. Jakarta; Erlangga
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking